Rabu, 06 Agustus 2014 - 0 komentar

Reuni; Ikatan Tak Tampak Mata

~ on the table we unity ~

Friends are born, not made.
~ Henry Adams

Reuni merupakan frasa. Berasal dari dua kata. Unity, artinya bersatu. Kemudian lema ini ditambah dengan imbuhan awalan re- yang berarti ulang atau kembali. Secara utuh, reuni bisa diartikan sebagai kembali bersatu. Sesuatu yang bersifat kembali, terkadang, lebih sukar ketimbang memulai. 

Namun, manusia tak boleh lupa, segala bentuk kesukaran itu bukan berarti tak terselesaikan. Kesukaran adalah pintu masuk menuju kebahagiaan. Tak percaya? Soal ujian nasional SMA lima tahun lalu buktinya. Kesukaran memilih satu di antara a, b, c, d, dan e ternyata hanya pintu saja. Setelah dinyatakan lulus, kebahagian tak terpermanai merebak di hati. Merekah-rekah sepanjang hari yang dinamai kelulusan. 

Lima tahun lalu, saya tergabung bersama teman-teman luar biasa di bangku tingkatan menengah atas yang punya kegilaan tanpa batas. Kami bertiga puluh tiga yang berstatus sebagai santriwan-santriwati berjuang untuk mimpi yang sama; menuntaskan kelulusan. Hasilnya, meski gila, ternyata amat memuaskan. Kami melenggang penuh kesempurnaan. 

Setelahnya, kesatuan serupa sapu lidi itu bercerai-berai. Kami tak boleh bersedih. Karena percerai-beraian itu demi mengejar setiap impian. Waktu dan tempat boleh memisahkan. Tapi, sebenarnya hati kami masih terikat dengan kesalingmengertian yang tak tampak mata. 

Ikatan itu yang pada akhirnya menguatkan tekad untuk menerjang kesukaran penyatuan-kembali atau reuni. Tahun demi tahun terus berganti. Ajang temu kangen ini tak pernah berhenti. Dimulai dari rumah Gayatri Oktarina di Genteng, Nurhayati Hasan di Muncar, Mitha Ayu Lestari di Genteng, dan tahun lalu, agak berbeda, karena diselenggarakan di rumah santriwan, Ahmad Dhailami di Pesanggaran. 


Setiap tahun tentu menerbitkan cerita yang berbeda. Mulai dari kesengitan menentukan hari hingga sejumlah biaya yang mesti dilunasi. Perbedaan kami maknai sebagai sesuatu yang alami, sebagaimana warna pelangi. Tak bisa dibayangkan bila pelangi hanya satu warna. Perbedaan warna yang justru menjadikannya lebih indah dipandang mata. 

Tak hanya itu saja. Nama-nama teman yang datang pun silih berganti. Tetapi, ada beberapa nama yang masih menjadi langganan yang berkenan meluangkan waktu dan tenaganya untuk hadir dan memenuhi keceriaan. Kadang, sempat sebal dengan hal semacam ini. Bagaimana tidak, perjuangan teman-teman untuk mendesain undangan, mendistribusikannya, dan menata acara, kadang bisa jadi hanya dipandang sebelah mata. Tetapi, saya ulangi lagi, ikatan tak tampak mata itu selalu mengingatkan; kami pernah bersatu dan seterusnya akan tetap bersatu. 

Hingga menjelang hari raya Idul Fitri 1435 Hijriyah kemarin, saya tak kunjung mendapat kabar tentang reuni tahun ini. Agak sedih kala malam takbir belum juga menerima undangan reuni. Sempat terbersit pikiran buruk di kepala saya, ikatan tak tampak mata yang mengikat kami sudah lucut. Dilekangkan ruang dan waktu. 

Namun, saya keliru. Jauh di luar kepahaman saya, beberapa teman justru mengupayakan pengikatan penyatuan-kembali. Hati saya mulai bungah mendengarnya. Hingga sebuah pesan singkat masuk di ponsel saya, membunyikan bahwasanya Sabtu (2/8) pagi, bertempat di Resto Gama Genteng, setiap alumni Al-Kautsar tahun 2009 diharapkan kedatangannya. Di pesan itu tertulis, temu kangen. 

Bertemu untuk melepaskan kangen menjadi momen yang saya tunggu saban tahunnya. Perantauan beribu-ribu kilo meter yang masih saya jalani hingga sekarang menyadarkan, bahwasanya saya punya banyak teman-teman luar biasa yang terpencar di pelbagai kota. Teman-teman yang tak bisa dipandang sebelah mata. Karena apa yang saya capai di sini tak terlepas dari yang kehadiran mereka yang turut mewarnai hidup saya dimulai enam tahun lalu, atau tepatnya ketika masih duduk di kelas dua SMA.

Pertemuan ini saya rasa paling spesial di antara reuni-reuni yang sudah-sudah. Tanpa mengecilkan panitia-panitia sebelumnya. Karena khusus tahun ini, tanpa direncanakan muluk-muluk temu-kangen ini tetap bisa terlaksana. Tanpa banyak ba-bi-bu sebagaimana yang berlalu. Saya harus angkat topi untuk penggagas reuni tahun ini. Siapa pun itu, ia telah menyadarkan kami semua tentang ikatan tak tampak mata, yang barangkali sudah getas. 

Perjumpaan dengan teman-teman lama selalu menyiratkan sinar bahagia. Kami datang bukan untuk saling pamer tentang pencapaian hari ini. Kesuksesan materi bukan sesuatu yang bisa dibawa-bawa ke ajang ini. Kami datang dengan satu alasan, pernah bersatu dan selamanya akan bersatu. 

Tak peduli apakah perutnya sudah membuncit seperti Ida Jazilatul Muyasaroh dan Siti Musyarofah. Atau yang sudah tak berhijab seperti Lellyana Febriyanti. Yang kita rayakan pagi itu adalah kebersamaan yang secara tampak mata sudah direnggangkan selama satu tahun belakangan. Tak pelak, tawa pecah kemana-mana. Bukan tawa yang bersifat mengecilkan. Tapi tawa ungkapan terima kasih selama lebih dari 60 bulan sudah menjalin ikatan persahabatan yang tak mudah dilupakan. 

Kepada beberapa nama yang rutin datang saban tahunnya, saya ucapkan terima kasih yang paling dalam atas rajutan kesetiaan untuk tetap setia meluangkan waktu dan kesempatan. Kepada yang sesekali datang dan tak pernah datang, terima kasih saya tak pernah berubah. Karena teman yang baik tak pernah mencela temannya. Bila saya pernah melakukannya, mohon sekiranya dimaafkan. Saya teringat pesan Lucius Annaeus Seneca, filsuf Romawi kuno, yang pernah mengatakan, “satu di antara hal terindah dari persahabatan sejati adalah kesalingmengertian.”

Soal pengertian ini bisa jadi hal yang unik untuk dicatat. Pengertian yang tak perlu terucapkan. Betapa pun siapa yang hadir di sana mafhum bahwasanya di antara segelintir yang hadir pernah menjalin asmara. Atau paling gampanganya diungkapkan, pernah saling mencintai. Namun, kini keadaannya lain. Asmara saat itu barangkali hanya asmara angsa muda yang dimabuk anggur cinta. Sehingga setelah dewasa angsa-angsa itu punya jalannya masing-masing.

Karena apa yang tertangkap mata justru menyiratkan tak pernah ada apa-apa di antara satu sama lain. Walau toh sebenarnya kemafhuman kami semua masih tertancap mantap di benak kepala. Namun, perjumpaan itu bukan atas landasan hendak menuntut balas atas perasaan yang tak terbalas, tapi lebih kepada ikatan teman yang tak pernah bisa dipisahkan oleh pelbagai luka yang pernah ditorehkan. Persis seperti peryanyataan Seneca; kesalingmengertian. 

Kelangengan suasana masa romansa dulu itu tak boleh menyirnakan segala keindahan dalam ikatan persahabatan siang itu. Mari bercermin dari sejoli Ribkhy Istighfar dan Sakinatun Nisa. Mereka adalah teladan tentang persahabatan yang menggembirakan. Namun, bukan berarti kita harus sedemikian. Itu pilihan mereka. Dan tak benar bila kita merecokinya. 

Saya menganggap lima tahun hanya penanda masa saja. Karena ada kadar nilai yang lebih abadi ketimbang titi mangsa. Hingga tua. Sampai renta. Dan... bersua kembali di alam baka. Reuni jadi abadi dan memang tak boleh mati.

Ketiganya ibu hamil. Yakin?

The Ndoro Putri Gank.

Kami berbincang tentang pelangi yang berwarna-warni.

Mbak, keempat minuman itu pesanannya?

See the selfie of Arista's style?

Konferensi Meja Panjang.

Can we name it by CLBK? Hahaha.

Lellyana; the lady boss.

Masih ingat apa yang dikatakan Ida saat itu?

Entah bila tak ditopang highheel. 

Terus begini. Sampai nanti. Sampai mati. 


Terima kasih, Kawan!

0 komentar:

Posting Komentar