Tanpa sepatu pun Syadad dan Syahdan tetap bahagia. Pun seharusnya kita. |
Jika kuat semenit, maka
kuat sejam.
Tahan sejam, tahan
sehari. Mampu sehari, mampu seminggu.
Bisa seminggu, bisa
sebulan. Sanggup sebulan, sanggup setahun.
Betah setahun, betah
....
Bila
dingiangkan 28 Oktober ke sepasang telinga, ada dua hal yang bakal saya ingat.
Sudah tentu, sebagai orang Indonesia, saya akan senantiasa mengenang Hari
Soempah Pemoeda. Tanpa peristiwa Itu, saya tak mungkin bisa menjadi Sarjana
Pendidikan Bahasa Indonesia. Karena saya akan betah dan anteng di bahasa Jawa,
sebagai bahasa ibu. Tapi, sumpah bersetia berbahasa
satoe bahasa Indonesia menjadikan saya harus belajar lebih jauh, dalam arti
sebenarnya, untuk benar-benar memahami bahasa persatuan ini. Itu hal pertama.
Satu
hal lagi yang bermain di kepala ketika tarikh itu tiba adalah penanda usia
kerja. 28 Oktober 2013-28 Oktober 2014 adalah tarik penanda 365 hari atawa
setahun sudah saya tidak mengenakan pantopel hitam dan baju batik. Setahun
sudah juga saya tak berteriak lantang-lantang di hadapan puluhan bocah di bawah
12 tahun dalam sebuah kelas. Karena sejak 12 bulan lalu, saya sudah berkalung
kartu ajaib, yang membawa saya kian dekat dengan impian-impian kehidupan.
Selama
483.840 menit juga saya sudah tak perlu lagi mengoreksi tugas-tugas harian dan
membuat soal-soal ujian. Padahal, sebelumnya itu adalah makanan keseharian
selama setengah windu lamanya. Segalanya berlalu begitu cepat. Berulang-alik.
Hingga membawa saya pada titik pijak baru; calon-repoter Batam Pos dengan nomor
urut delapan. Sederhananya, bila membaca Batam Pos terbitan 28 Oktober 2013
sampai sekarang dan mendapati (cr8)
di akhir beritanya, bisa dipastikan berita itu adalah tulisan saya.
Satu
tahun, bagi bayi, adalah penanda usia untuk mulai ceriwis. Tak sedikit juga
yang sudah mulai berjalan merambat-rambat di dinding. Begitu juga satu tahun
usia kewartawanan saya.
Bersama Santa, veteran. |
Dalam
melakoni hari-hari liputan, saya akui sudah mulai ceriwis. Mencuat banyak
pertanyaan dari dalam diri. Untuk apa sebenarnya meliput ini. Mengapa harus
menulis tentang itu. Mengapa redaktur tak menaikkan berita saya. Apa manfaat
yang saya dapat dari menulis sebuah berita. Serta masih banyak bentuk ceriwis
yang selalu saya gumamkan setiap malam sebelum tidur.
Tentu
ceriwis sebuah bayi tak begitu ditanggapi. Kebanyakan orang lebih menanggapinya
sebagai upaya bayi melatih lidahnya agar luwes melafalkan huruf. Hal ini pula
yang membuat banyak ceriwis saya tak menemukan jawab. Sehingga, masih perlu
saya ulangi hingga hari ini. Mengapa begitu? Haruskah begini? Gumaman yang
masih berbunyi sebelum memejamkan mata.
Tiba-tiba,
di tengah racauan, sebuah pertanyaan dari alam bawah sadar menghajar tempurung
kepala. Menukik dari langit-langit tak kasat mata. Menghunjam ke otak bagian
belakang. Menuntut sebuah jawaban. Apa
yang sudah kamu dapatkan selama setahun bekerja sebagai calon-reporter Batam
Pos, Tih? Cara pertanyaan itu mengucapkan nama saya begitu akrab. Saya
yakin dan tak salah lagi. Suara itu adalah suara diri saya sendiri. Saya
menamainya Fatih.2.
Mulanya,
saya abaikan si Fatih.2. Tapi,
semakin diabai semakin liar ia menggasak malam-malam tidur saya. Nada suaranya
juga sudah semakin meninggi. Mengganggu tidur nyenyak setelah penat liputan
seharian. Saya terjaga. Lalu cuci muka, menyesap sebatang sigaret, dan mencoba
menjawabnya. Karena tak mungkin menjawabnya secara langsung, karena suara kami
serupa, maka saya menuliskannya dalam sepucuk surat. Semoga ia berkenan
membacanya.
Bersama Wulan Guritno, aktris, dan Khairan Aldhy, sutradara. |
Dear, Fatih.2, yang
telah menemani lebih dari 22 tahun lamanya.
Apa kabarmu? (Saya tahu ini
pertanyaan basa-basi, namun tetap harus saya tanyakan). Semoga kamu tetap bahagia dan tak pernah bosan berteman denganku.
Karena kebahagiaanmu menjadi pelabuhan dari setiap pelayaran yang kuarungi.
Jadi, bila ada yang tak berkenan, sekiranya bisa dikabarkan. Agar kebahagiaan,
sebagai takdir sejati kita, tak lari dari kehidupan.
Sebelumnya juga, aku
memohon maaf telah mengabaikan pertanyaan yang kamu lemparkan. Bukan karena tak
kuasa menjawab. Tapi, kamu tahu sendirilah, betapa sekarang hari-hariku
dipenuhi jalan-jalan, motret-motret, tanya-tanya, dan tulis-tulis. Kegiatan
keseharian dalam satu waktu itu kerap menghajar staminaku. Hingga ketika kamu
bertamu, aku sudah tak sempat lagi membukakan pintu. Maafkan temanmu ini. Tak
sebetik pun niat untuk meninggalkanmu. Karena Tuhan menciptakan kita satu. Jadi
tak mungkin kamu sendiri, pun aku. Kita harus senantiasa bersama. Sepanjang
masa yang kita bisa.
Kamu tanyakan kepadaku,
Apa
yang sudah kamu dapatkan selama setahun bekerja sebagai calon-reporter Batam
Pos, Tih?. Surat ini akan coba mengurai
pertanyaanmu.
Memang, Tih.2, tak
terasa sudah setahun waktu berlalu. Tak terasa olehku perputaran jarum jam yang
begitu cepat. Sudah tak kuasa jemari menghitung berapa detik, menit, serta jam
yang sudah dihabiskan untuk liputan, liputan, dan liputan. Selama itu pula,
sudah banyak cerita tercipta.
Di awal Desember silam,
ingatkah dirimu ketika kita sedang menyantap makan malam di kos seorang teman.
Saat itu, ponselku berdering. Dari ujung sana, dikabarkan bahwa ada kebakaran
besar di Pasar Pelantar KUD Tanjungpinang. Sebenarnya, aku masih ingin
menikmati nasi Padang lauk telur dadar yang baru kita makan sesuapan. Tetapi,
hasratmu untuk segera menuju lokasi kejadian, membuatku tak banyak pilihan.
Katamu, ini konsekuensi sebuah pekerjaan. Enak tak enak harus dijalankan.
Api sudah melahap dua
sisi ruko yang berhadapan. Petugas keamanan memekik agar orang-orang bisa
berjauhan. Tapi, kamu meyakinkanku untuk lebih maju, merasakan panas api dari
jarak dua meter. Aku sempat menolak. Tapi, lagi-lagi kamu memaksa. Kuturuti.
“Agar kamu turut bisa merasakan betapa api itu bukan hanya membakar harta benda
korban, tapi juga menguji ketahanan mereka menerima kenyataan.”
Benar katamu, Fatih.2.
Liputan kebakaran itu benar-benar mendewasakan. Di usia kewartawanan yang belum
genap dua bulan, kamu sudah memberikan pembelajaran sekaligus pengalaman. Bahwasanya
di setiap liputan itu dibutuhkan pendekatan terhadap subyek yang hendak
ditulis. Kamu juga mengabarkan bahwa diperlukan ketenangan dalam menghadapi
apapun jenis keadaan.
Tentang ketenangan,
memang adalah peranti terdepan yang harus dipunya dalam melakoni
episode-episode kehidupan, yang kadang tak sesuai dengan yang diharapkan. Dari
liputan yang meninggalkan sebungkus nasi Padang itu, aku jadi tahu setiap hari
harus mengasah ketenangan agar semakin tajam. Sehingga, bisa objektif melihat
apa-apa yang ada di hadapan. Terima kasih untuk pelajaran ketenangan itu,
Fatih.2.
Kamu tahu, ketenangan
itu pula yang mendinginkan kepalaku ketika surat pemindahan pos liputan sampai
di meja. Seketika, dari kantor pusat, aku diminta untuk bergeser. Dari Kota
Tanjungpinang ke Kabupaten Bintan. Ini petir di siang bolong. Sempat aku
berpikir, adakah kesalahan fatal yang tanpa disadari telah kita buat bersama?
Kutanyai begitu. Saat itu, kamu hanya diam saja. Kuambil sebotol ketenangan
yang pernah kamu berikan. Kupupurkan di setiap jengkal kulit, agar ketenangan itu
membaluri diri. Kamu hanya berbisik, “ketakdugaan yang membuat hidup kian
menantang.”
Bersama Bupati Bintan Ansar Ahmad dan rekan wartawan. |
Ketenangan yang sudah
membaluri tubuh itu kemudian membulatkan pikiranku. Benar katamu. Ketakdugaan
itu yang harus diperhatikan. Lantas, kita bermain-main dengan setiap liputan.
Kita bergantian mencari-cari berita-cerita menarik untuk dituliskan. Ini
membuat produktifitas kita menulis feature tak terbendung. Makin banyak
bereksplorasi dan berekspresi. Kulihat kamu begitu gembira. Aku pun turut
merasakannya. Kengerian dan awan hitam yang dibawa surat pemindahan pos liputan
itu seketika menjelma jadi langit setelah hujan yang membawa pelangi.
Tapi, pelangi tak
pernah selamanya. Lekas datang dan selekas itu pula ia pergi. Lagi-lagi
dibutuhkan ketenangan untuk menghadapi langit yang mulai menghitam. Sehitam
kejenuhan yang mulai mewarnai permainan kita. Katamu, aku harus bersabar. Tapi,
apa yang pernah dibawa sabar, selain penantian? Kamu terdiam dan mulai sering
meninggalkanku sendirian.
Serupa Rumi yang
kehilangan Tabriz. Tanpamu, aku menjalani liputan dalam keheningan. Saat itu,
kutaksir kamu memang sedang ingin sendiri. Barangkali jarak di antara kita yang
akan menerbitkan cahaya. Di hari-hari sendiri itu juga aku banyak belajar
tentang perenungan. Sebuah nama bilik yang sudah bersawang pojok-pojoknya.
Karena saking lama tak pernah dikunjungi. Aku masuk dan duduk bersila.
Membungkus semua kekesalan dan membakar gas helium agar kekesalan yang
berbentuk pertanyaan itu terbang ke langit. Mencari jawab. Hingga, tiba-tiba mendengar
kamu mengetuk pintu bilik perenungan. “Mari jalan-jalan, motret-motret,
tanya-tanya, dan tulis-tulis,” ajakmu.
Motret? Kamu pulang tak
dengan tangan kosong. Ada satu peranti yang sudah lama bermain dalam mimpi.
Kamera digital bernama Canon 50D di tangan kananmu. ”Lekas bangkit. Barang ini
tak bisa menunggu lebih lama,” katamu.
Hari-hari setelahnya,
seperti yang kita jalani bersama, adalah hari tentang pembelajaran. Menulis dan
memotret menjadi kesatuan untuk
menghadirkan liputan yang lebih menggembirakan. Kamu tak bosannya membisikkan
kapan waktu yang tepat untuk memotret, kapan masa paling selesa untuk bertanya.
Kita berdua jadi lebih gemar menerobos rimba-rimba. Mengunjungi tempat asing
yang tak pernah dikunjungi sebelumnya. Kita ke Senggiling hingga berkenalan
dengan Michel, seorang pelaut tulen asal Perancis.
Bersama Michel, pelaut dan pegiat jong. |
Peristiwa demi
peristiwa yang tak pernah sama setiap hari itu membawa kebahagiaan. Sebuah
takdir yang sudah terlalu lama terabaikan. Ingatkah ketika masih duduk di kelas
2 SMA, kita sama berjanji untuk menekuni jejak yang disusuri Putu Wijaya dan
Seno Gumira Ajidarma? Keinginan sederhana yang membawa kita berdua sampai pada
titik ini. Saat ini.
Bila kamu bertanya
tentang lelah dan jengah, kepada manusia mana mereka tak pernah singgah. Tapi,
selama kita bisa saling menguatkan satu sama lain, kuyakini itu bukan masalah.
Karena masalah memang hanya ada dalam kepala dan takkan pernah ada dalam
realita, bila benar-benar tak menganggapnya ada.
Sekarang kita sudah
setahun. Masih ceriwis dan merambat-rambat di dinding untuk berjalan. Dan bila
kamu masih bertanya apa yang kudapat selama itu, aku hanya butuh satu kata
untuk menjawabnya; kebahagiaan.
Terima kasih telah dan untuk
selalu bersama, Fatih.2.
Sisi lainmu,
FATIH.1.
Sekira
dua hari kemudian, saya menerima surat balasan dari Fatih.2. Karena katanya,
surat harus dibalas surat. Saya mendapati surat itu di sebelah kasur. Secarik
kertas putih tak beramplop itu tergeletak.
Hai, bro.
Selamat ya udah setahun
aja jadi wartawan. Eh, maaf. Maksudku calon-reporter nomor urut delapan, begitu
kan yang kamu tulis di suratmu sebelumnya.
Ternyata, kurun setahun
tak membuatmu lebih pintar. Terbukti, pertanyaan sederhanaku justru kamu jawab
dengan ratusan kata. Ingat, orang genius itu menyederhanakan. Bukan merumitkan.
Karena kamu masih belum pintar, biar aku yang menjawab pertanyaanku sendiri.
Setahuku. Karena setidaknya, sudah banyak masa yang kita habiskan bersama.
Jadi begini, bro.
Setahun ini kita sudah mendapatkan semua senjata yang kita butuhkan untuk
menjadi wartawan yang lebih bahagia. Kamu sudah punya peranti ketik, peranti
potret, dan peranti lari. Belum lagi bonus berupa sebongkah batu karang yang kamu
terima sepulang dari rumah Michel. Kukira, sudah seharusnya di tahun kedua kita
jadi lebih hebat dari sebelumnya.
Senjata kami berdua. |
Karena aku selalu risau
melihatmu terus-terusan dungu. Lantaran menganggap dirimu belum punya apa-apa.
Buka mata. Kita sudah punya segalanya. Walau belum pintar, aku mohon, paling
tidak jangan malu-maluin, bro. Karena kamu kan calon-reporter nomor urut
delapan di harian yang benar-benar kamu idamkan.
Please and peace, bro!
Sisi lainmu yang keren,
FATIH.2.
Saya
remas surat darinya. Saya injak-injak. Lalu, saya bakar.
Saya
bukan marah.
Tapi,
karena saya sadar, Fatih.2, sisi lain yang kampret itu, sudah menunggu saya di
depan rumah.
“Marlipkec,
bro!” Pekiknya.
Salam,
Calon-reporter
Batam Pos nomor urut delapan (cr8).
2 komentar:
Ku yakin.. hidupmu akan slalu menjadi lebih tampan tiap harinya.
Yuk.. semangatkan diri. Tujuan itu sepertinya telah tampak di kejauhan mata memandang.
Kau raih citamu yang pasti dengan perlahan. Dan aku mulai mempersiapkan diri untuk menyambut pernikahan. ��
Selamat pagi dan malam
Posting Komentar