Kamis, 30 Oktober 2014 - 2 komentar

8.064 Jam Menjadi cr8

Tanpa sepatu pun Syadad dan Syahdan tetap bahagia.
Pun seharusnya kita. 

Jika kuat semenit, maka kuat sejam.
Tahan sejam, tahan sehari. Mampu sehari, mampu seminggu.
Bisa seminggu, bisa sebulan. Sanggup sebulan, sanggup setahun.
Betah setahun, betah ....


Bila dingiangkan 28 Oktober ke sepasang telinga, ada dua hal yang bakal saya ingat. Sudah tentu, sebagai orang Indonesia, saya akan senantiasa mengenang Hari Soempah Pemoeda. Tanpa peristiwa Itu, saya tak mungkin bisa menjadi Sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia. Karena saya akan betah dan anteng di bahasa Jawa, sebagai bahasa ibu. Tapi, sumpah bersetia berbahasa satoe bahasa Indonesia menjadikan saya harus belajar lebih jauh, dalam arti sebenarnya, untuk benar-benar memahami bahasa persatuan ini. Itu hal pertama.

Satu hal lagi yang bermain di kepala ketika tarikh itu tiba adalah penanda usia kerja. 28 Oktober 2013-28 Oktober 2014 adalah tarik penanda 365 hari atawa setahun sudah saya tidak mengenakan pantopel hitam dan baju batik. Setahun sudah juga saya tak berteriak lantang-lantang di hadapan puluhan bocah di bawah 12 tahun dalam sebuah kelas. Karena sejak 12 bulan lalu, saya sudah berkalung kartu ajaib, yang membawa saya kian dekat dengan impian-impian kehidupan.


Selama 483.840 menit juga saya sudah tak perlu lagi mengoreksi tugas-tugas harian dan membuat soal-soal ujian. Padahal, sebelumnya itu adalah makanan keseharian selama setengah windu lamanya. Segalanya berlalu begitu cepat. Berulang-alik. Hingga membawa saya pada titik pijak baru; calon-repoter Batam Pos dengan nomor urut delapan. Sederhananya, bila membaca Batam Pos terbitan 28 Oktober 2013 sampai sekarang dan mendapati (cr8) di akhir beritanya, bisa dipastikan berita itu adalah tulisan saya.

Satu tahun, bagi bayi, adalah penanda usia untuk mulai ceriwis. Tak sedikit juga yang sudah mulai berjalan merambat-rambat di dinding. Begitu juga satu tahun usia kewartawanan saya.

Bersama Santa, veteran. 
Dalam melakoni hari-hari liputan, saya akui sudah mulai ceriwis. Mencuat banyak pertanyaan dari dalam diri. Untuk apa sebenarnya meliput ini. Mengapa harus menulis tentang itu. Mengapa redaktur tak menaikkan berita saya. Apa manfaat yang saya dapat dari menulis sebuah berita. Serta masih banyak bentuk ceriwis yang selalu saya gumamkan setiap malam sebelum tidur.

Tentu ceriwis sebuah bayi tak begitu ditanggapi. Kebanyakan orang lebih menanggapinya sebagai upaya bayi melatih lidahnya agar luwes melafalkan huruf. Hal ini pula yang membuat banyak ceriwis saya tak menemukan jawab. Sehingga, masih perlu saya ulangi hingga hari ini. Mengapa begitu? Haruskah begini? Gumaman yang masih berbunyi sebelum memejamkan mata.

Tiba-tiba, di tengah racauan, sebuah pertanyaan dari alam bawah sadar menghajar tempurung kepala. Menukik dari langit-langit tak kasat mata. Menghunjam ke otak bagian belakang. Menuntut sebuah jawaban. Apa yang sudah kamu dapatkan selama setahun bekerja sebagai calon-reporter Batam Pos, Tih? Cara pertanyaan itu mengucapkan nama saya begitu akrab. Saya yakin dan tak salah lagi. Suara itu adalah suara diri saya sendiri. Saya menamainya Fatih.2.

Mulanya, saya abaikan si Fatih.2. Tapi, semakin diabai semakin liar ia menggasak malam-malam tidur saya. Nada suaranya juga sudah semakin meninggi. Mengganggu tidur nyenyak setelah penat liputan seharian. Saya terjaga. Lalu cuci muka, menyesap sebatang sigaret, dan mencoba menjawabnya. Karena tak mungkin menjawabnya secara langsung, karena suara kami serupa, maka saya menuliskannya dalam sepucuk surat. Semoga ia berkenan membacanya.

Bersama Wulan Guritno, aktris, dan Khairan Aldhy, sutradara.

Dear, Fatih.2, yang telah menemani lebih dari 22 tahun lamanya.
Apa kabarmu? (Saya tahu ini pertanyaan basa-basi, namun tetap harus saya tanyakan). Semoga kamu tetap bahagia dan tak pernah bosan berteman denganku. Karena kebahagiaanmu menjadi pelabuhan dari setiap pelayaran yang kuarungi. Jadi, bila ada yang tak berkenan, sekiranya bisa dikabarkan. Agar kebahagiaan, sebagai takdir sejati kita, tak lari dari kehidupan.

Sebelumnya juga, aku memohon maaf telah mengabaikan pertanyaan yang kamu lemparkan. Bukan karena tak kuasa menjawab. Tapi, kamu tahu sendirilah, betapa sekarang hari-hariku dipenuhi jalan-jalan, motret-motret, tanya-tanya, dan tulis-tulis. Kegiatan keseharian dalam satu waktu itu kerap menghajar staminaku. Hingga ketika kamu bertamu, aku sudah tak sempat lagi membukakan pintu. Maafkan temanmu ini. Tak sebetik pun niat untuk meninggalkanmu. Karena Tuhan menciptakan kita satu. Jadi tak mungkin kamu sendiri, pun aku. Kita harus senantiasa bersama. Sepanjang masa yang kita bisa.

Kamu tanyakan kepadaku, Apa yang sudah kamu dapatkan selama setahun bekerja sebagai calon-reporter Batam Pos, Tih?. Surat ini akan coba mengurai pertanyaanmu.

Memang, Tih.2, tak terasa sudah setahun waktu berlalu. Tak terasa olehku perputaran jarum jam yang begitu cepat. Sudah tak kuasa jemari menghitung berapa detik, menit, serta jam yang sudah dihabiskan untuk liputan, liputan, dan liputan. Selama itu pula, sudah banyak cerita tercipta.

Di awal Desember silam, ingatkah dirimu ketika kita sedang menyantap makan malam di kos seorang teman. Saat itu, ponselku berdering. Dari ujung sana, dikabarkan bahwa ada kebakaran besar di Pasar Pelantar KUD Tanjungpinang. Sebenarnya, aku masih ingin menikmati nasi Padang lauk telur dadar yang baru kita makan sesuapan. Tetapi, hasratmu untuk segera menuju lokasi kejadian, membuatku tak banyak pilihan. Katamu, ini konsekuensi sebuah pekerjaan. Enak tak enak harus dijalankan.

Api sudah melahap dua sisi ruko yang berhadapan. Petugas keamanan memekik agar orang-orang bisa berjauhan. Tapi, kamu meyakinkanku untuk lebih maju, merasakan panas api dari jarak dua meter. Aku sempat menolak. Tapi, lagi-lagi kamu memaksa. Kuturuti. “Agar kamu turut bisa merasakan betapa api itu bukan hanya membakar harta benda korban, tapi juga menguji ketahanan mereka menerima kenyataan.”

Benar katamu, Fatih.2. Liputan kebakaran itu benar-benar mendewasakan. Di usia kewartawanan yang belum genap dua bulan, kamu sudah memberikan pembelajaran sekaligus pengalaman. Bahwasanya di setiap liputan itu dibutuhkan pendekatan terhadap subyek yang hendak ditulis. Kamu juga mengabarkan bahwa diperlukan ketenangan dalam menghadapi apapun jenis keadaan.

Tentang ketenangan, memang adalah peranti terdepan yang harus dipunya dalam melakoni episode-episode kehidupan, yang kadang tak sesuai dengan yang diharapkan. Dari liputan yang meninggalkan sebungkus nasi Padang itu, aku jadi tahu setiap hari harus mengasah ketenangan agar semakin tajam. Sehingga, bisa objektif melihat apa-apa yang ada di hadapan. Terima kasih untuk pelajaran ketenangan itu, Fatih.2.

Kamu tahu, ketenangan itu pula yang mendinginkan kepalaku ketika surat pemindahan pos liputan sampai di meja. Seketika, dari kantor pusat, aku diminta untuk bergeser. Dari Kota Tanjungpinang ke Kabupaten Bintan. Ini petir di siang bolong. Sempat aku berpikir, adakah kesalahan fatal yang tanpa disadari telah kita buat bersama? Kutanyai begitu. Saat itu, kamu hanya diam saja. Kuambil sebotol ketenangan yang pernah kamu berikan. Kupupurkan di setiap jengkal kulit, agar ketenangan itu membaluri diri. Kamu hanya berbisik, “ketakdugaan yang membuat hidup kian menantang.”

Bersama Bupati Bintan Ansar Ahmad dan rekan wartawan.

Ketenangan yang sudah membaluri tubuh itu kemudian membulatkan pikiranku. Benar katamu. Ketakdugaan itu yang harus diperhatikan. Lantas, kita bermain-main dengan setiap liputan. Kita bergantian mencari-cari berita-cerita menarik untuk dituliskan. Ini membuat produktifitas kita menulis feature tak terbendung. Makin banyak bereksplorasi dan berekspresi. Kulihat kamu begitu gembira. Aku pun turut merasakannya. Kengerian dan awan hitam yang dibawa surat pemindahan pos liputan itu seketika menjelma jadi langit setelah hujan yang membawa pelangi.

Tapi, pelangi tak pernah selamanya. Lekas datang dan selekas itu pula ia pergi. Lagi-lagi dibutuhkan ketenangan untuk menghadapi langit yang mulai menghitam. Sehitam kejenuhan yang mulai mewarnai permainan kita. Katamu, aku harus bersabar. Tapi, apa yang pernah dibawa sabar, selain penantian? Kamu terdiam dan mulai sering meninggalkanku sendirian.

Serupa Rumi yang kehilangan Tabriz. Tanpamu, aku menjalani liputan dalam keheningan. Saat itu, kutaksir kamu memang sedang ingin sendiri. Barangkali jarak di antara kita yang akan menerbitkan cahaya. Di hari-hari sendiri itu juga aku banyak belajar tentang perenungan. Sebuah nama bilik yang sudah bersawang pojok-pojoknya. Karena saking lama tak pernah dikunjungi. Aku masuk dan duduk bersila. Membungkus semua kekesalan dan membakar gas helium agar kekesalan yang berbentuk pertanyaan itu terbang ke langit. Mencari jawab. Hingga, tiba-tiba mendengar kamu mengetuk pintu bilik perenungan. “Mari jalan-jalan, motret-motret, tanya-tanya, dan tulis-tulis,” ajakmu.

Motret? Kamu pulang tak dengan tangan kosong. Ada satu peranti yang sudah lama bermain dalam mimpi. Kamera digital bernama Canon 50D di tangan kananmu. ”Lekas bangkit. Barang ini tak bisa menunggu lebih lama,” katamu.

Hari-hari setelahnya, seperti yang kita jalani bersama, adalah hari tentang pembelajaran. Menulis dan memotret  menjadi kesatuan untuk menghadirkan liputan yang lebih menggembirakan. Kamu tak bosannya membisikkan kapan waktu yang tepat untuk memotret, kapan masa paling selesa untuk bertanya. Kita berdua jadi lebih gemar menerobos rimba-rimba. Mengunjungi tempat asing yang tak pernah dikunjungi sebelumnya. Kita ke Senggiling hingga berkenalan dengan Michel, seorang pelaut tulen asal Perancis.

Bersama Michel, pelaut dan pegiat jong.

Peristiwa demi peristiwa yang tak pernah sama setiap hari itu membawa kebahagiaan. Sebuah takdir yang sudah terlalu lama terabaikan. Ingatkah ketika masih duduk di kelas 2 SMA, kita sama berjanji untuk menekuni jejak yang disusuri Putu Wijaya dan Seno Gumira Ajidarma? Keinginan sederhana yang membawa kita berdua sampai pada titik ini. Saat ini.

Bila kamu bertanya tentang lelah dan jengah, kepada manusia mana mereka tak pernah singgah. Tapi, selama kita bisa saling menguatkan satu sama lain, kuyakini itu bukan masalah. Karena masalah memang hanya ada dalam kepala dan takkan pernah ada dalam realita, bila benar-benar tak menganggapnya ada.

Sekarang kita sudah setahun. Masih ceriwis dan merambat-rambat di dinding untuk berjalan. Dan bila kamu masih bertanya apa yang kudapat selama itu, aku hanya butuh satu kata untuk menjawabnya; kebahagiaan.

Terima kasih telah dan untuk selalu bersama, Fatih.2.

Sisi lainmu,
FATIH.1.



Sekira dua hari kemudian, saya menerima surat balasan dari Fatih.2. Karena katanya, surat harus dibalas surat. Saya mendapati surat itu di sebelah kasur. Secarik kertas putih tak beramplop itu tergeletak.



Hai, bro.
Selamat ya udah setahun aja jadi wartawan. Eh, maaf. Maksudku calon-reporter nomor urut delapan, begitu kan yang kamu tulis di suratmu sebelumnya.

Ternyata, kurun setahun tak membuatmu lebih pintar. Terbukti, pertanyaan sederhanaku justru kamu jawab dengan ratusan kata. Ingat, orang genius itu menyederhanakan. Bukan merumitkan. Karena kamu masih belum pintar, biar aku yang menjawab pertanyaanku sendiri. Setahuku. Karena setidaknya, sudah banyak masa yang kita habiskan bersama.

Jadi begini, bro. Setahun ini kita sudah mendapatkan semua senjata yang kita butuhkan untuk menjadi wartawan yang lebih bahagia. Kamu sudah punya peranti ketik, peranti potret, dan peranti lari. Belum lagi bonus berupa sebongkah batu karang yang kamu terima sepulang dari rumah Michel. Kukira, sudah seharusnya di tahun kedua kita jadi lebih hebat dari sebelumnya.

Senjata kami berdua.

Karena aku selalu risau melihatmu terus-terusan dungu. Lantaran menganggap dirimu belum punya apa-apa. Buka mata. Kita sudah punya segalanya. Walau belum pintar, aku mohon, paling tidak jangan malu-maluin, bro. Karena kamu kan calon-reporter nomor urut delapan di harian yang benar-benar kamu idamkan.

Please and peace, bro!

Sisi lainmu yang keren,
FATIH.2.



Saya remas surat darinya. Saya injak-injak. Lalu, saya bakar.
Saya bukan marah.
Tapi, karena saya sadar, Fatih.2, sisi lain yang kampret itu, sudah menunggu saya di depan rumah.

“Marlipkec, bro!” Pekiknya.


Salam,
Calon-reporter Batam Pos nomor urut delapan (cr8). 

2 komentar:

Unknown 29 November 2014 pukul 11.30

Ku yakin.. hidupmu akan slalu menjadi lebih tampan tiap harinya.

Yuk.. semangatkan diri. Tujuan itu sepertinya telah tampak di kejauhan mata memandang.
Kau raih citamu yang pasti dengan perlahan. Dan aku mulai mempersiapkan diri untuk menyambut pernikahan. ��

onezaidan 24 Februari 2015 pukul 08.11

Selamat pagi dan malam

Posting Komentar