![]() |
Selesai baca Juni 2014 |
Saya kenal Piyu. Tapi, Piyu tak mengenali saya.
Saya mengenali laki-laki berambut gondrong itu Minggu (1/6) lalu. Di suatu siang, tanpa sengaja saya harus singgah ke pasar buku diskon. Selain makanan, buku adalah sesuatu yang kerap membuat kalap. Satu demi satu buku-buku yang dibanting harganya itu berpindah ke tas jinjing. Sesaat hendak pulang, saya mengitari kembali hamparan buku-buku murah itu. Ini perlu dilakukan. Karena saya selalu percaya, selalu ada harta karun di balik sampah yang menggunung.
Voila! Di tumpukan paling dasar, saya memerhatikan ada buku hitam berukuran lebar bersampul luks, bertuliskan piyu; life, passion, dreams and his legacy. Buru-buru mata saya menuju label harga. Rp 30.000 untuk ukuran buku berdesain mewah. Tanpa perlu menunggu lama, saya mencomotnya.
Itulah mula perjumpaan saya dengan gitaris gondrong bernama lengkap Satriyo Yudi Wahono ini. Meski pecinta Gibson Les Paul ini tak pernah mengenali saya. Tapi perjumpaan singkat dengannya, memberikan satu pelajaran bernama piyulogy, sesuai dengan akun twitter-nya.
Buku setebal 165 halaman itu saya lahap dalam kurun 130 menit saja, atau dari pukul 22.45 – 00.55 WIB. Sebelum membuka halaman demi halaman buku piyulogy, saya mematikan ponsel terlebih dahulu. Karena saya sudah cukup jengah ketika asyik-masyuk membaca, ponsel terus berbunyi hanya sekadar siaran jualan, mulai dari pemutih badan, powerbank, hingga jersey bola. Turning off.
Pelajaran pertama piyulogy adalah tentang keberanian. Perkara ini menjadi gila di tangan Piyu. Meski belum pernah sekali pun memainkan gitar elektrik, cara Piyu berbohong pada teman-temannya mantap sekali. “Besok, biar aku yang main gitar elektriknya.” Walhasil, Piyu remaja harus konsekuen dengan omongannya. Setelah memperoleh pinjaman gitar, di rumahnya ia mulai mencoba memindahkan melodi lead gitar dari nada-nada organ ke fret gotar. Dengan gitar itu, ia seharian berupaya keras menghafal posisi-posisi tangannya di atas fret board gitar sampai benar-benar lancar. Karena ini juga, tak jarang jari-jarinya robek sehingga harus diplester ketika pergi sekolah. “Semua itu perjuanganku untuk nunjukin kalau aku bisa main gitar,” tegas Piyu.
Piyu juga melakukan apa yang pernah dikatakan Slash Guns n Roses. Dari 24 jam yang ia punya, 7-8 jam di antaranya ia pakai untuk berlatih gitar. Berarti sepertiga waktu hidup yang dipunya dialokasikan untuk sesuatu yang dicintai. Saya kira ini rumusan universal. Bila Slash dan Piyu saja mengalokasikan sepertiga hidupnya untuk menekuni dunia yang dicintainya, mengapa saya tidak?
Agak malu sebenarnya menuliskan paragraf di atas. Jangankan sepertiga, seperdelapan hidup saya saja belum saya alokasikan untuk membaca dan menulis. “Malu, Yu,” kata saya pada Piyu, yang tak mengenali saya itu.
Mendengar ucapan saya, Piyu menimpali begini. “Untuk bisa bermain gitar tidaklah sulit, selama mau berlatih dan berlatih. Namun untuk memahami rasa dalam memainkan nada-nada gitar, itulah yang tidak mudah,” ucap gitaris berkaca mata minus ini.
Saya mengangguk. Secara tersirat, delapan jam sehari itu hanya upaya untuk bisa bermain gitar. Sementara untuk memahami rasa itu diperlukan lari satu mil lebih jauh.
Anda salah besar bila menganggap piyulogy sebatas tentang cerita gitar-gitaran saja. Karena tentang gitar, kita sudah punya satrianya; Oma Irama.
Piyu yang kita kenal sekarang adalah seorang gitaris yang piawai menulis lagu. Atraktif memainkan Gibson Les Paul-nya. Tapi tak banyak orang, termasuk saya, yang tahu Piyu pernah menjadi seorang pekerja bengkel dan cleaning service di suatu pusat belanja di Jakarta.
Berbicara tentang Jakarta, saya kira Piyu juga gila. Apatah tidak, ia menuju ibu kota hanya bermodalkan gitar Yamaha pemberian abangnya saja. Sementara kuliahnya di Universitas Airlangga diliburkan sementara waktu. “Karena gue belum melakukan apa-apa buat hidup gue. Gue ingin melakukan sesuatu buat hidup gue sendiri. Gue sudah melakukan sesuatu yang penting untuk dicatat. Kalau nggak berhasil berkarier di musik, gitar ini mau gue gantung di rumah. Tak akan pernah gue sentuh lagi,” seru Piyu.
Piyu kemudian cabut dari zona amannya; Surabaya. Luntang-luntung bertahan hidup di Jakarta demi karier musik. Selain gitar Yamaha seharga Rp 259 ribu, saya kira mimpi dan tekad adalah modal utama arek Surobyo ini. Sebagaimana anak Surabaya punya slogan bonek; bondo nekat atau modal nekat. Pun Piyu.
Sebuah cerita hidup yang memulangkan ingatan saya pada hidup saya yang bukan gitaris ini. Saya masih keblinger dan belum merumuskan jawaban mantap macam Piyu punya, ketika disorongkan pertanyaan; Mengapa kamu ke Tanjungpinang?. Kadang saya acap berlindung di balik aling-aling heroik tentang perantauan yang nyaris ganjil 5 tahun ini. Saya akui belum punya jawaban sekeren Piyu. Ini menyedihkan dan patut dipikirkan beberapa waktu mendatang.
![]() |
sebuah pesan Piyu |
Selain mengajarkan perjuangan, piyulogy juga punya bab pembahasan yang saya sukai. Tentang menulis. Ini adalah dunia gelap, murung, dan sepi, yang kadung saya geluti dan cintai. Piyu juga menekuni ini dengan teliti. Saking telitinya, Piyu bahkan juga menjadikan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai kitab suci. Agak kesulitan, katanya, bila menulis lirik lagu tanpa ditemani KBBI di sisi.
Kekaguman Piyu kepada KBBI mengkristal pada sekian lagu yang ditulisnya. Ada banyak lema-lema orisinal yang tak bakal dijumpai di lirik-lirik lagu lain. Seperti Ahmad Dhani yang bisa-bisanya menuliskan lema pugar pada Kamulah Satu-satunya dan kista pada Cinta ‘Kan Membawamu Kembali.
Piyu tak mau kalah. Juga ada banyak lema anti-pakem dalam karyanya. Semisal, merajam pada Sobat dan menggugah pada Begitu Indah. “Aku selalu memiliki lirik kata-kata yang harus dihindari. Aku tidak mau mengulangi kata atau lirik yang sudah pernah dituliskan oleh pencipta lagu lain,” ujar Piyu.
Baik lagu Dhani atau Piyu cukup menyenangkan dibaca tanpa irama. Seolah puisi. Semacam punya tenaga. Secara pribadi, lirik menjadi tolok ukur saya dalam mencintai sebuah lagu. “Buat aku karya lagu itu seperti hakikat. Nilai orisinalitas selalu menjadi nilai tambah bagi penulis lagu,” kata Piyu.
Selain punya lema yang tak biasa, saya menggemari lagu-lagu Padi karena permainan metaforanya yang cerdas. Tidak norak. Cermati saja Semua Tak Sama, Sang Penghibur, atau Mahadewi. Bukan semacam Butiran Debu yang tak mengindahkan logika berpikir. Untuk menulis lirik lagu sekuat itu, Piyu membocorkan rumusannya. “Dulu aku punya formula penulisan lirik yang kusebut ‘timbul-tenggelam’. Ide lirik lagu itu awalnya bisa muncul dengan tiba-tiba. Tapi nanti bisa sama sekali blank. Berakibat lirik tersebut menjadi ngaco, tak berarah.”
Sehingga, untuk mengatasi itu, Piyu lekas menuliskan sekelebat ide yang terlintas. Secepat mungkin. Baru setelah itu dirangkai-rangkai ulang dengan mencari padanan kata yang orisinal. Ini rahasia Piyu menulis lagu. Selain itu, ada ‘bible’ yang tak pernah lepas dari sisinya. “Seperti Sang Nabi karya Kahlil Gibran yang jadi ‘bible’-ku sebelum menggarap album pertama,” tutur Piyu.
![]() |
Corat-coret Semua Tak Sama |
Pembahasan ini kian memacu adrenalin saya untuk membaca dan membaca dan membaca dan membaca dan membaca. Semakin banyak bacaan semakin banyak yang bisa diserap. Mencoba keluar dari pakem bacaan yang banyak dibaca orang kadang terasa menyenangkan. Semacam punya rak-rak kaset film petualangan yang tak pernah ditonton orang kebanyakan. Cerita yang saya tuturkan ketika nongkrong, tak pernah terbayangkan dan diengar orang lain. Untuk itu saya harus memulai memperluas bacaan. Toh, saya juga harus berani berkomitmen untuk meluangkan sepertiga hidup untuk sebuah dunia yang saya geluti. Sebulan lima buku, saya rasa masih kelas amatir. Sepuluh buku bukan sesuatu yang mustahil.
Sebenarnya masih ada banyak pembelajaran yang bisa diserap dari piyulogy. Semisal Piyu yang tak pernah bosan me-request Sobat di radio setiap malamnya agar peringkatnya terus bertengger di posisi teratas dan pengalamannya menjadi teknisi gitar Andra “Dewa 19” Ramadan.
Seluruh pengalaman itu yang membantuk Piyu yang sekarang, sebagai gitaris Indonesia bersenjatakan Gibson Les Paul Kamikaze yang mampu senantiasa membuat intro dan lead lagu yang catchable di telinga. Telinga kita semua tentu masih bisa mengingat dengan jelas intro Begitu Indah dan Sesuatu yang Indah, kendati dua lagu itu sudah tak pernah divokalkan Fadly.
Semua itu tidak Piyu raih dalam selangkah saja. Ada bukit-bukit tinggi lagi terjal yang mesti didakinya dengan peluh dan air mata, sebelum menjejakkan kaki di altar puncak kariernya.
Saya pikir, puncak kesuksesan Piyu bukan hanya tentang kelihaiannya menulis lagu berkelas. Akan tetapi juga kegeniusannya melanggengkan pikiran masyarakat Indonesia, bahwasanya lema padi tak hanya tentang cikal bakal bulir beras.
![]() |
Salam harmoni dari Piyu |
Saya mengenal Piyu sebagai gitaris yang tak pernah mengenali saya.
Salam,
Fatih.
0 komentar:
Posting Komentar