Minggu, 13 Oktober 2013 - 2 komentar

Linda; The Kugy-Bonaparte

tearsheet Catatan Perjalanan Hati Linda

Nama pendeknya Linda. Nama panjangnya (yang juga pendek) Herlinda. Tinggi badannya 23 centimeter lebih rendah dari saya. Sehingga, banyak orang yang keliru serta-merta mengira bahwa perempuan Batam ini siswi rok biru atau abu-abu. Namun, jangan karena kecilnya lantas kita boleh mengabaikan Linda. Tentang riwayat orang kecil, kita harus mengacu pada Kaisar Napoleon Bonaparte (1769 – 1821). Badannya boleh lebih mini tapi sejarah telah mencatat bahwa ia pernah menguasai sebagian besar wilayah Eropa. Saya menaruh keyakinan yang sama pada Linda.

Permulaan pertama mengenalnya lewat majalah kampus Laksamana. Lalu komunikasi menjadi lebih hangat setelah saya dan Linda tertarik pada persona yang sama; Dewi Lestari (Dee). Di sela perjumpaan kami yang jarang, selalu terselip pembicaraan tentang Ibu Suri. Sampai pada suatu saat, saya menghilangkan Filosofi Kopi-nya. Sebelum meminjam, saya sempat ingat bahwa Linda berpesan, “buku ini kesayanganku.” Maka ketika buku itu berpindah tangan, terbayang di benak saya wajah Linda yang merengut. Tapi Linda berjiwa besar. Kehilangan adalah keadaan yang tak pernah diinginkan. Sebagai bentuk tanggung jawab, saya lantas mengorder via online Filosofi Kopi edisi cover baru, mengingat buku itu sudah sangat sukar dijumpai di toko buku konvensional. (Terlebih di Tanjungpinang, saya dan Linda sudah sama menertawakannya.)

Sejak saat itu, saya menaruh hormat lebih pada Linda. Di balik tubuh ­Kugy­-nya, bersemayam jiwa Bonaparte.

Selain berbagi cerita, hal yang sama-sama kami suka adalah menulis. Kegiatan ini semacam tarapetik bagi jiwa kami yang acapkali dikecewakan dan tanpa mampu mengatakan. Di sini, tentu saya takkan mengumbar bagaimana badai kecewa itu meluluh-lantakkan keyakinan saya. Karena pada catatan sederhana ini, saya hanya akan menulis tentang Linda, Linda, dan Linda.

Pada proses kreatifnya menekuni dunia menulis, Linda pernah terantuk karang yang menggembosi semangat menulisnya. Karang itu bernama cinta. Menurut Asbak (nama lain karang yang saya dan Linda sepakati) tulisan Linda tak ubahnya sampah; bau dan tak berguna. Kalau saja saya ada di depan Asbak, tentu saja saya sudah melemparnya ke tong sampah. Karena Asbak, sebagaimana asbak pada umumnya, adalah tempat sampah bagi abu rokok saya. Ia pantas menerima itu, karena tidak menghargai payah, gelap, serta kelamnya selama berproses menciptakan tulisan.

Legitimasi Asbak yang seenak udelnya itu menina-bobokkan Linda. Kau tahu, sesekali cinta selain membutakan, juga menjengkelkan. Asbak pun menabur benih benalu yang menggerogoti kecintaan Linda pada dunia menulis. Seberapa kali pun saya coba menyingkirkan benalu dari kepala Linda, tetap saja saya gagal. Inilah mengapa pujangga pernah menulis bahwa cinta membutakan.

Oke. Linda sudah terjangkit benalu. Saya hanya bisa berlalu.



Seiring bergulirnya waktu, pada Desember 2012 lalu, saya dan Linda kembali memagut malam di kedai sekoteng, Jl. Ahmad Yani, Pamedan. Malam itu, saya hendak meminjam uang Laksamana (saat itu, Linda sudah menjabat sebagai pemimpin umum) untuk bekal saya menghadiri malam anugerah penulisan di Banten.

Kami pun kembali berbicara tentang menulis.

Satu hal yang membuat saya senang, Linda berkabar bahwa benalu di kepalanya sudah hilang. Sebagai rasa syukur atas itu, Linda pun menjanjikan pada saya sebuah tulisan utuh. “Tulisan itu akan Abang terima pas wisuda,” kata Linda. Saya jadi tak sabar menanti tulisan yang Linda janjikan. Ada jeda 9 bulan bagi Linda untuk merampungkan tulisannya.

Setelah itu, saya dan Linda jadi jarang bersua. Saya kadung tenggelam pada hibuk skripsi. Tugas akhir, kau tahu, bisa menculikmu dan menyekapmu di balik meja. Karena itu, saya sampai lupa pada janji Linda sembilan bulan lalu.

Hingga suatu mention-nya di Twitter menyadarkan saya.







Berhubung Linda sendiri yang melanggar konsekuensi untuk menyerahkan naskah yang dijanjikannya, saya menghukumnya. Setiap pelanggaran memang ada sanksi. (Pelanggaran hati? I doubt. :D)

Saya membalas mention-nya.







Dan, semalam Linda menjalani sanksinya di Jebart Café.

Saya memesan secangkir kopi arang dan segelas milkshake untuk Linda. Tajuk pertemuan malam itu, selain menjalankan sanksi, Linda juga mesti menepati janjinya; satu tulisan dijiilid rapi.

Yang membuat saya bahagia, bukan karena pada akhirnya Linda menepati janjinya. Melainkan karena benalu itu sudah benar-benar musnah dari kepalanya. Cerita punya cerita, Asbak yang terkutuk itu sudah berganti dengan Piring. Kata Linda, Piring berhasil menghalau tumbuhnya benalu kepalanya. Tentu saja saya jadi penasaran, bagaimana Piring bisa melakukannya. Linda hanya menjawab dengan tertawa, sambil berujar riang, “pegang hape saja sampai gemetar begini, Bang.”

Saya menimpali dengan tawa yang sama. Karena saya juga pernah mengalami hal sedemikian rupa, kata Linda, “Ah, Abang kan juga pernah muda.” Ya, saya hanya orang tua yang terjebak pada usia muda, Lin, batin saya.

Maka topik obrolan malam itu seputar Ibu Suri (ini pasti), Asbak yang terkutuk, Piring yang menggetarkan, dan…

PELAJARAN BESAR!

Bagaimana pun, saya belajar pada Linda yang sudah mengalami kiamat dalam keluarga. Terdengar lebay, tapi begitu saya menganggapnya. Kiamat itu bom watu; pasti meledak, kapan saja, tinggal tunggu waktunya. Pascakepergian ibunya, Linda terlihat makin baik dari sebelumnya. “Linda cuma ingin ibu bahagia, Bang,” tutur Linda dengan mata yang memerah. Betapa kurang ajarnya saya, dengan semena-mena membangitkan memori itu. Tapi, seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, ada jiwa Bonaparte di tubuh Linda. Kopi arang saya tandas dan milkshake Linda masih setengah gelas. Obrolan terus berlanjut. Sekarang pembicaraan berubah posisi. Bila biasanya saya yang lebih cerewet tentang perlunya menulis, kini saya jadi pendengar sekaligus pembelajar dari seorang Linda yang tegar.

“Keluarga,” kata Linda, “lebih berantakan saat ditinggal ibu, Bang.”

Benar, Lin. Ibu saya juga pernah berujar seperti itu. Katanya, perempuan masih bisa tegar saat suaminya pergi, tetapi berlaku sebaliknya bagi lelaki.

Linda pun melanjutkan pelajarannya.

“Tahu nggak, Bang, apa pelajaran penting yang Linda dapat dari Ayah dan Ibu?”

Saya menggeleng. Saya sengaja mengosongkan kepala agar dapat diisi banyak oleh pelajaran serta pengalaman Linda. “Dari Ibu, Linda belajar tentang menemani lelaki dari nol, dari bukan apa-apa.”

Manis sekali, saya berdecak. Linda terus berkisah dengan mata yang menerawang jauh. Kata-katanya terus mengalir, saya buru-buru merekamnya agar tidak terlewat barang satu makna.

Dan saya menggarisbawahi satu kalimat. Berjudi pada takdir. Garis bawah saya goreskan karena saya juga sedang berjudi seperti Linda, hanya saja kami beda meja. Lantas saya menambahkan, “ketika berjudi, Lin, kita harus fokus pada meja tanpa perlu mengintipnya.”

Pukul 21.45. Jarum jam berputar lebih cepat dari biasanya. Obrolan harus segera diakhiri, meski masih banyak yang belum dibagi.

Catatan Perjalanan Hati bersampul merah menandakan janji sudah dilunasi. Secangkir kopi arang menandakan sanksi sudah dijalani. Saya dan Linda pun bersurai. Kepala kami sama-sama mengalami turbulensi.

Terima kasih, Linda The Kugy-Bonaparte.

Salam,
Fatih.

P.S. Hai Linda, untuk Catatan Perjalanan Hati­-mu sengaja tidak kureview. Karena tulisan yang ditulis dengan hati, hanya bisa dirasa. Dan Abang sudah merasakannya. Berbahagia dan tetap menulis ya.

2 komentar:

Vitrie Ayu 14 Oktober 2013 pukul 08.48

Wah linda keren ya.
Asbak? wah..
Entah harus setuju atau tidak dengan istilah itu ya..
Bagi saya linda itu seperti sebuah karang di ujung pantai. Tegar dengan terpaan ombak peliknya dunia.
Saya tidak pernah melihat teman '3 masa' itu kecil. Baik sosoknya ataupun dirinya. Sejak SD hingga terakhir kali bertemu, linda selalu punya kisah ajaib diluar dunia saya. Sebuah pribadi yang ... membuat saya tersenyum kagum.

Review yang cantik untuk teman masa kecil saya, Terimakasih. Dia memang hebat :D

Unknown 16 Oktober 2013 pukul 12.18

Terima kasih juga atas komentarmu, Vitrie.

Begitulah temanmu, Linda, di mata saya. Tanpa mengurangi atau melebih suatu pun apa.

Tentang istilah 'asbak' barangkali kamu boleh menanyakannya langsung pada Linda. :)

Posting Komentar