![]() |
tearsheet Catatan Perjalanan Hati Linda |
Nama
pendeknya Linda. Nama panjangnya (yang juga pendek) Herlinda. Tinggi badannya
23 centimeter lebih rendah dari saya. Sehingga, banyak orang yang keliru
serta-merta mengira bahwa perempuan Batam ini siswi rok biru atau abu-abu.
Namun, jangan karena kecilnya lantas kita boleh mengabaikan Linda. Tentang
riwayat orang kecil, kita harus mengacu pada Kaisar Napoleon Bonaparte (1769 –
1821). Badannya boleh lebih mini tapi sejarah telah mencatat bahwa ia pernah
menguasai sebagian besar wilayah Eropa. Saya menaruh keyakinan yang sama pada
Linda.
Permulaan
pertama mengenalnya lewat majalah kampus Laksamana. Lalu komunikasi menjadi
lebih hangat setelah saya dan Linda tertarik pada persona yang sama; Dewi
Lestari (Dee). Di sela perjumpaan kami yang jarang, selalu terselip pembicaraan
tentang Ibu Suri. Sampai pada suatu saat, saya menghilangkan Filosofi Kopi-nya.
Sebelum meminjam, saya sempat ingat bahwa Linda berpesan, “buku ini
kesayanganku.” Maka ketika buku itu berpindah tangan, terbayang di benak saya
wajah Linda yang merengut. Tapi Linda berjiwa besar. Kehilangan adalah keadaan
yang tak pernah diinginkan. Sebagai bentuk tanggung jawab, saya lantas
mengorder via online Filosofi Kopi edisi cover baru, mengingat buku itu
sudah sangat sukar dijumpai di toko buku konvensional. (Terlebih di
Tanjungpinang, saya dan Linda sudah sama menertawakannya.)
Sejak
saat itu, saya menaruh hormat lebih pada Linda. Di balik tubuh Kugy-nya,
bersemayam jiwa Bonaparte.
Selain
berbagi cerita, hal yang sama-sama kami suka adalah menulis. Kegiatan ini
semacam tarapetik bagi jiwa kami yang acapkali dikecewakan dan tanpa mampu
mengatakan. Di sini, tentu saya takkan mengumbar bagaimana badai kecewa itu
meluluh-lantakkan keyakinan saya. Karena pada catatan sederhana ini, saya hanya
akan menulis tentang Linda, Linda, dan Linda.
Pada
proses kreatifnya menekuni dunia menulis, Linda pernah terantuk karang yang
menggembosi semangat menulisnya. Karang itu bernama cinta. Menurut Asbak
(nama lain karang yang saya dan Linda sepakati) tulisan Linda tak ubahnya
sampah; bau dan tak berguna. Kalau saja saya ada di depan Asbak, tentu saja
saya sudah melemparnya ke tong sampah. Karena Asbak, sebagaimana asbak pada
umumnya, adalah tempat sampah bagi abu rokok saya. Ia pantas menerima itu, karena
tidak menghargai payah, gelap, serta kelamnya selama berproses menciptakan
tulisan.
Legitimasi
Asbak yang seenak udelnya itu menina-bobokkan Linda. Kau tahu, sesekali cinta
selain membutakan, juga menjengkelkan. Asbak pun menabur benih benalu yang
menggerogoti kecintaan Linda pada dunia menulis. Seberapa kali pun saya coba
menyingkirkan benalu dari kepala Linda, tetap saja saya gagal. Inilah mengapa
pujangga pernah menulis bahwa cinta membutakan.
Oke.
Linda sudah terjangkit benalu. Saya hanya bisa berlalu.
Seiring
bergulirnya waktu, pada Desember 2012 lalu, saya dan Linda kembali memagut
malam di kedai sekoteng, Jl. Ahmad Yani, Pamedan. Malam itu, saya hendak
meminjam uang Laksamana (saat itu, Linda sudah menjabat sebagai pemimpin umum)
untuk bekal saya menghadiri malam anugerah penulisan di Banten.
Kami
pun kembali berbicara tentang menulis.
Satu
hal yang membuat saya senang, Linda berkabar bahwa benalu di kepalanya sudah
hilang. Sebagai rasa syukur atas itu, Linda pun menjanjikan pada saya sebuah
tulisan utuh. “Tulisan itu akan Abang terima pas wisuda,” kata Linda. Saya jadi
tak sabar menanti tulisan yang Linda janjikan. Ada jeda 9 bulan bagi Linda
untuk merampungkan tulisannya.
Setelah
itu, saya dan Linda jadi jarang bersua. Saya kadung tenggelam pada hibuk
skripsi. Tugas akhir, kau tahu, bisa menculikmu dan menyekapmu di balik meja.
Karena itu, saya sampai lupa pada janji Linda sembilan bulan lalu.
Hingga
suatu mention-nya di Twitter menyadarkan saya.
Berhubung
Linda sendiri yang melanggar konsekuensi untuk menyerahkan naskah yang
dijanjikannya, saya menghukumnya. Setiap pelanggaran memang ada sanksi.
(Pelanggaran hati? I doubt. :D)
Saya
membalas mention-nya.
Dan,
semalam Linda menjalani sanksinya di Jebart Café.
Saya
memesan secangkir kopi arang dan segelas milkshake untuk Linda. Tajuk pertemuan
malam itu, selain menjalankan sanksi, Linda juga mesti menepati janjinya; satu
tulisan dijiilid rapi.
Yang
membuat saya bahagia, bukan karena pada akhirnya Linda menepati janjinya.
Melainkan karena benalu itu sudah benar-benar musnah dari kepalanya. Cerita
punya cerita, Asbak yang terkutuk itu sudah berganti dengan Piring. Kata Linda,
Piring berhasil menghalau tumbuhnya benalu kepalanya. Tentu saja saya jadi
penasaran, bagaimana Piring bisa melakukannya. Linda hanya menjawab dengan
tertawa, sambil berujar riang, “pegang hape saja sampai gemetar begini, Bang.”
Saya
menimpali dengan tawa yang sama. Karena saya juga pernah mengalami hal
sedemikian rupa, kata Linda, “Ah, Abang kan juga pernah muda.” Ya, saya hanya
orang tua yang terjebak pada usia muda, Lin, batin saya.
Maka
topik obrolan malam itu seputar Ibu Suri (ini pasti), Asbak yang terkutuk,
Piring yang menggetarkan, dan…
PELAJARAN
BESAR!
Bagaimana
pun, saya belajar pada Linda yang sudah mengalami kiamat dalam keluarga.
Terdengar lebay, tapi begitu saya menganggapnya. Kiamat itu bom watu; pasti
meledak, kapan saja, tinggal tunggu waktunya. Pascakepergian ibunya, Linda
terlihat makin baik dari sebelumnya. “Linda cuma ingin ibu bahagia, Bang,” tutur
Linda dengan mata yang memerah. Betapa kurang ajarnya saya, dengan semena-mena
membangitkan memori itu. Tapi, seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, ada
jiwa Bonaparte di tubuh Linda. Kopi arang saya tandas dan milkshake Linda masih
setengah gelas. Obrolan terus berlanjut. Sekarang pembicaraan berubah posisi.
Bila biasanya saya yang lebih cerewet tentang perlunya menulis, kini saya jadi
pendengar sekaligus pembelajar dari seorang Linda yang tegar.
“Keluarga,”
kata Linda, “lebih berantakan saat ditinggal ibu, Bang.”
Benar,
Lin. Ibu saya juga pernah berujar seperti itu. Katanya, perempuan masih bisa
tegar saat suaminya pergi, tetapi berlaku sebaliknya bagi lelaki.
Linda
pun melanjutkan pelajarannya.
“Tahu
nggak, Bang, apa pelajaran penting yang Linda dapat dari Ayah dan Ibu?”
Saya
menggeleng. Saya sengaja mengosongkan kepala agar dapat diisi banyak oleh
pelajaran serta pengalaman Linda. “Dari Ibu, Linda belajar tentang menemani
lelaki dari nol, dari bukan apa-apa.”
Manis
sekali, saya berdecak. Linda terus berkisah dengan mata yang menerawang jauh.
Kata-katanya terus mengalir, saya buru-buru merekamnya agar tidak terlewat
barang satu makna.
Dan
saya menggarisbawahi satu kalimat. Berjudi pada takdir. Garis bawah saya
goreskan karena saya juga sedang berjudi seperti Linda, hanya saja kami beda
meja. Lantas saya menambahkan, “ketika berjudi, Lin, kita harus fokus pada meja
tanpa perlu mengintipnya.”
Pukul
21.45. Jarum jam berputar lebih cepat dari biasanya. Obrolan harus segera
diakhiri, meski masih banyak yang belum dibagi.
Catatan
Perjalanan Hati bersampul merah menandakan janji sudah
dilunasi. Secangkir kopi arang menandakan sanksi sudah dijalani. Saya dan Linda
pun bersurai. Kepala kami sama-sama mengalami turbulensi.
Terima
kasih, Linda The Kugy-Bonaparte.
Salam,
Fatih.
P.S.
Hai Linda, untuk Catatan Perjalanan Hati-mu sengaja tidak kureview.
Karena tulisan yang ditulis dengan hati, hanya bisa dirasa. Dan Abang sudah
merasakannya. Berbahagia dan tetap menulis ya.
2 komentar:
Wah linda keren ya.
Asbak? wah..
Entah harus setuju atau tidak dengan istilah itu ya..
Bagi saya linda itu seperti sebuah karang di ujung pantai. Tegar dengan terpaan ombak peliknya dunia.
Saya tidak pernah melihat teman '3 masa' itu kecil. Baik sosoknya ataupun dirinya. Sejak SD hingga terakhir kali bertemu, linda selalu punya kisah ajaib diluar dunia saya. Sebuah pribadi yang ... membuat saya tersenyum kagum.
Review yang cantik untuk teman masa kecil saya, Terimakasih. Dia memang hebat :D
Terima kasih juga atas komentarmu, Vitrie.
Begitulah temanmu, Linda, di mata saya. Tanpa mengurangi atau melebih suatu pun apa.
Tentang istilah 'asbak' barangkali kamu boleh menanyakannya langsung pada Linda. :)
Posting Komentar