Mungkin, pada masa lalu aku pernah
mencintaimu. Terbawa hingga sekarang. Semoga sampai pada masa mendatang.
Pada masa lalu, mungkin aku adalah katak
hijau, dan kau ikan mujair. Sehingga aku terus bernyanyi di tepi danau,
menungguimu.
Lalu pada masa ini, kita sama-sama terlahir
sebagai manusia. Seharusnya kita bisa menyatukan cinta. Tapi tak selamanya asa
jadi nyata.
Ada banyak kerikil yang mengelilipi mata
kita. Seperti ego, status, jarak, rupa, dan yang paling besar adalah realita.
Realita bahwa kau benar-benar tak
mencintaiku. Kerikil ini hampir sempurna buatku buta. Tapi aku tak mau
kehilangan mata.
Karena hanya dengan mata aku bisa melihat
bahwa kau adalah gadis mujairku dari masa lalu. Matamu yang memberitahuku.
Barangkali karena tidak lagi hidup di air,
menulikan telingamu dari laguku. Atau malah karena aku yang telah pandai
bicara, dengan bahasa manusia?
Kau menutup pintu, begitu juga aku. Kita
sudah hilang percaya pada bahasa. Karena katak harusnya mengorek, sedangkan
mujair tetap dalam air.
Atau mungkin kita mesti menunggu kelahiran
ketiga? Saat bahasa bukan lagi kendala. Saat mata sungguh-sungguh terbuka.
Kau terlahir jerapah,
aku menetas kutilang. Di atas rambutmu yang pirang, aku bernyanyi riang. Aku
mencintaimu hingga masa mendatang.
0 komentar:
Posting Komentar