Pada Kamis, 6 Januari 2011 silam, saya mengenakan kemeja berwarna oranye pudar, bercelana hitam, duduk di bangku panjang di depan kelas I Bilal (sekarang kelas I Hamzah). Pada siang yang terik itu, hati saya sedang berbunga-bunga, bukan karena sedang jatuh cinta. Melainkan hari itu adalah dimulainya saya menjadi salah seorang bagian dari keluarga besar SDIT Al-Madinah Tanjungpinang.
Setelah sebelumnya, kemarin lusa saya melaksanakan microteaching di kelas IV Ja’far (sekarang kelas V Zubair), akhirnya hari ini adalah hari pertama saya mengajar anak-anak tingkat dasar. Peluh terus bercucuran dari balik kulit. Ada perasaan gugup sekaligus takut karena tidak tahu bagaimana mengajar anak-anak jenius (mengutip kata Einstein, bahwa anak kecil adalah manusia jenius). Isi kepala saya terus berputar mencari cara paling ampuh dan jitu untuk mulai bersahabat dengan mereka. Namun, sebelum saya menemukan cara terjitu, bel tanda pergantian jam ke pelajaran Bahasa Arab, mata pelajaran yang saya ampu, seketika berdering nyaring. Saya harus masuk. Saya usap dulu peluh-peluh yang telah membasahi kening.
Di dalam kelas, mata saya telah bersitumbuk dengan mata bocah-bocah yang setengah heran mendapati laki-laki berbadan tambun berdiri di depan papan tulis. Lirih, telinga saya menangkap mereka terus berbisik, ‘Pak gurunya gendut ya.”
But, show must go on.
Saya menarik napas dalam-dalam hingga ke pangkal perut dan dengan teriakan paling lantang mengucapkan salam. Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. Mereka lantas menjawab dengan nada berdesibel lebih tinggi. Saya melanjutkan dengan memekik, kaifa haalukum? Baru anak-anak itu bisu. Mereka tak tahu harus menjawab sapaan saya selanjutnya dengan kalimat apa. Lantas saya menjelaskan arti pertanyaan yang baru saya ajukan; bagaimana kabar kalian? Mereka mengangguk, tanda paham. Saya kembali mengulangi, kayfa haalukum? Kemudian mereka menjawab secara serempak, berteriak, sambil bergerak, Alhamdulillah, luar biasa, Allahu Akbar, yes!
dari kiri: Pak Zul, Saya, Pak Hakim, Pak Hendra, Pak Dodi, Pak Anto, Pak Rendra, dan Pak Akbar |
Hati saya berdesir. Kaki saya bergetar. Betapa suara mereka amat syahdu. Meski nyaring, tetap saja lembut di kuping. Selanjutnya, kegugupan yang semula menghantui mendadak sirna. Keluguan serta kejeniusan anak-anak itu benar-benar membuka mata saya, bahwa mereka sedang mencari guru yang bisa dijadikannya sahabat, teman bermain, juga tempat bertanya tentang materi pelajaran yang tak dikuasainya.
Setelah tanggal itu, saya merasa hari-hari saya lebih berwarna. Karena enam hari dalam sepekan, saya mesti menjumpai 240-an siswa dari kelas I-IV. Di tengah-tengah kesendirian hidup di kota orang, sahut pekik suara mereka menjawab sapaan saya itu membuat saya tahu bahwasanya ada mereka yang senantiasa menanti saya di tiap jam pelajaran Bahasa Arab. Alhamdulillah, luar biasa, Allahu Akbar, Yes!
Ya. Allah memang sangat luar biasa. Jujur, saya mesti mengakui bahwa bukanlah cita-cita saya untuk menjadi seorang guru. Karena sedari dulu saya bercita-cita ingin menjadi penulis. Pada mulanya, saya menganggap aktifitas mengajar ini hanya sekadar upaya survive di kota orang. Namun, seiring pergantian bulan, saya menyadari arti penting dari esensi mengajar.
Bagi mereka, anak-anak didik saya, saya dianggap adalah guru. Dan kalian tentu tahu sebagaimana guru pada umumnya, mereka bertugas untuk mengajari mata pelajaran sesuai bidang yang dikuasai. Tapi, tidak bagi saya. Kami malah saling memberi. Karena mereka juga banyak mengajari saya! Ya, kalian tidak salah baca. Saya ulangi; murid-murid itu banyak mengajari saya.
Misalnya, saya belajar dari Mutiara Aisyah (sekarang kelas III Usaid) tentang cara berkhayal dan membangun imajinasi tanpa batas. Dari Zawq Goldamir (sekarang kelas IV Abdullah) saya belajar tentang indahnya berbagi bekal sarapan pada kawan-kawan yang tidak membawa makanan. Dari Faiz Hafizudin (sekarang kelas V) saya belajar tentang betapa belajar itu tidak melulu tentang menjadi pintar, melainkan juga menjadi berani untuk senantiasa belajar bagaimana pun cara teman-teman melihat kita. Dari Awaludin Mariolo (sekarang kelas III Usaid) saya belajar tentang keteguhan hati yang tetap ceria meski kehilangan ibunya. Dan masih banyak lagi pelajaran hidup yang saya peroleh dari anak-anak didik saya, yang bilamana disebutkan akan memenuhi tulisan ini. Entah bagaimana saya bisa membalas segala ilmu yang telah mereka berikan secara cuma-cuma. Yang saya bisa, saya hanya senantiasa menjaga mereka lewat baris-baris doa saya kepada Allah Azza wa Jalla. Wahai Zat Mahacinta, jadikan mereka generasi yang menyebarkan cinta-Mu di dunia. Amin.
Selama 2 tahun 8 bulan 24 hari menjadi bagian dari keluarga besar SDIT Al-Madinah, saya jadi banyak kenal sahabat-sahabat hebat yang sedia berbagi ceria, pengalaman hidup, dan sukacita. Buat saya, ini adalah semacam bebaris cerita yang tak ditulis di buku mana pun. Sebuah keasyikan tersendiri bisa membaca buku yang ditulis langsung oleh semesta. Sahabat-sahabat saya yang budiman itu banyak mengajari saya tentang cara menjadi guru yang baik, menangani anak-anak yang perlu perhatian lebih, dan yang paling saya gemari, mereka berkenan membagi kisah-kisah hidup mereka. Cerita-cerita itu tentu tak akan mampu ditulis dalam secarik surat terbatas ini. Namun, percayalah, sahabat-sahabatku, kisah itu sudah tertulis dan tertata rapi di benak saya. Kisah-kisah kalian akan jadi semacam jangkar kebahagiaan, betapa saya pernah hidup dalam satu keluarga yang benar-benar istimewa. Syukron Jazilan. Biar Allah yang mengganti kisah itu dengan balasan yang berkah dan semakin menjadikan kalian, sahabat-sahabatku, golongan yang mulia, yang siap-sedia berbagi kebaikan serta keceriaan pada anak-anak, dan juga pada dunia. Shukriya.
Gading mana yang tak retak. Macan mana yang tak loreng. Dalam kurun 972 hari itu, tentulah saya banyak menabur butir geram, remah kecewa, serta bubuk jengkel. Saya memohon maaf sebesar-besarnya atas ketidaktahuan diri saya itu.
Kepada kepala sekolah beserta wakil-wakilnya, saya merapatkan sepuluh jari atas segala tindak laku saya yang banyak mengecewakan. Semoga maaf itu meringankan saya dalam melanjutkan kisah perjalanan. Karena hak adam tetaplah harus diselesaikan lewat cara adam. Semoga sepuluh jari ini bersambut dengan kata maaf dari ucap dan hati bapak kepala sekolah serta jajaran wakilnya.
Barangkali, dosa besar saya tumpah kepada wali-wali kelas. Mereka adalah orang-orang yang telah dengan semena-menanya saya zalimi. Saya kerap tidak hadir di kelas mereka, sehingga menyusahkan mereka untuk menjaga anak-anak jenius itu. Bapak dan Ibu Wali-wali Kelas berapa pun, saya mengharap maaf serta keikhlasan atas kenaifan yang pernah saya perbuat. Itu tak lebih dari ketakcakapan saya menjalin komunikasi serta ketaktahuan saya betapa beban bapak-ibu sebenarnya sudah amat besar, dan dengan seenaknya, saya malah menambahinya. Semoga ketulusan hati bapak-ibu untuk memaafkan saya menjadikan saya lebih dewasa ke depannya.
Percayalah, bahwa pengalaman luar biasa hidup di tengah-tengah bapak-ibu selama dua tahun lebih itu akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Surat ini barangkali tidak berarti apa-apa, tapi hati saya telah mencatat segala kisah panjang itu sedetil-detilnya. Kelak, di suatu masa, saya akan merindukan duduk di lapangan atas di bawah pohon sambil membaca buku, saya akan kangen dengan suasana gurau-canda ketika rehat salat zuhur di lab komputer, saya akan rindu dengan teriakan anak-anak menjawab salam saya, saya akan kangen telepon dan sms dari wali kelas yang mengingatkan saya harus masuk di kelasnya, saya akan menanggung rindu terlalu dalam untuk momen-momen bahagia itu.
Akhirul kalam, setiap yang terbang pasti bersarang. Sirih akhirnya pulang ke gagang yang bertimbal dengan pinang pulang ke tampuknya jua. Adalah hak bagi setiap manusia untuk memaafkan, memuji, menghargai, menasihati. Tetapi ada dua kewajiban yang mesti saya lakukan; berterima kasih dan meminta maaf.
Terima kasih atas segala keindahan yang takkan tergantikan.
Mohon maaf atas segala kekurangsukaan.
mereka adalah keluarga besar saya, selamanya. |
Pada Senin siang, 30 September 2013, saya kembali mengenakan kemeja berwarna oranye pudar dan bercelana hitam membalikkan badan. Semoga segala yang baik senantiasa dikenang, yang buruk lekas dilupakan. Peribahasa Melayu mengatakan, datang nampak hidung, pulang nampak punggung.
Tanjungpinang, 30 September 2013
Yang berbahagia,
Fatih Muftih
P.S Untuk mengetahui komentar-komentar yang terbit berkenaan surat ini, sila klik versi aslinya via facebook saya, di sini.
Salam,
Fatih.
0 komentar:
Posting Komentar