Senin, 01 April 2013 - 0 komentar

(Mewaspadai) Ular Keempat

selesai baca Mar 13
Saya mendapatkan novel berstatus pemenang harapan pada Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2003 ini di hamparan buku diskon. Selain karena harganya yang amat terjangkau, saya membeli novel karangan Gus tf Sakai ini lantaran tulisan singkat di halaman belakangnya. Betulkah orang-orang kampungku beribadah bukan karena Allah?

Sepintas tulisan itu terdengar biasa-biasa saja; sama memberi efek penasaran yang ada pada buku-buku kebanyakan. Tapi, pertanyaan (ataukah pernyataan?) itu benar-benar menampar pipi saya. Sebagai manusia yang beragama, selama ini saya selalu mengasosiasikan ibadah dengan Tuhan. Bahwasanya ibadah itu hanya ada untuk Tuhan. Lantas kalau bukan untuk-Nya, untuk siapakah ibadah itu dipersembahkan? Gus tf Sakai melanjutkannya, melainkan karena ibadah itu telah diwariskan turun-temurun?

Setelah membaca kalimat itu, seketika saya berasumsi bahwa novel ini bercerita tentang spiritualitas. Praduga saya benar. Kisah ini bersettingkan polemik haji tahun 1970. Ketika pemerintah memonopoli aktifitas rukun islam kelima itu. Saya tidak tertarik dengan polemiknya. Saya tertarik dengan pergulatan batin tokoh utama yang mendapati beragam pengalaman spiritual selama berhaji.

Guru Muqri. Ia serupa Tabriz bagi Rumi. Bagi Janir, tokoh utama, Guru Muqri menjadi pelita yang menerangi gelap relung batinnya. Ia yang pergi haji kali kedua ini diberikan tiga kisah yang bertutur lewat kelebat mimpi. Dalam mimpi yang rancu dengan cerita itu, Guru Muqri berkisah tentang ular-ular.


Ada banyak ular yang hidup panjang dalam sejarah manusia. Makhluk melata itu telah hidup jauh lebih lama dari peradaban manusia. Ia juga yang menggoda Hawa untuk meminta suaminya memetikkan buah quldi. Jadi, ular ini terus hidup beriringan bersama manusia. 

Ular itu lantas menggerogoti kesehatan manusia. Kesehatan iman. Ia menjelma sesuatu yang mengasyikkan. Tukang hasut yang hebat. Mampu menggoyahkan pilar keyakinan lewat lamunan-lamunan khayali bernapaskan ketuhanan.

Saya pikir ular sejenis ini terus hidup hingga hari ini. Bisa jadi ia bersama saya, anda, atau mereka yang mengaku manusia beriman. Iman adalah makanan pokoknya. Karena itu, selama masih ada manusia yang menanam iman di dadanya, akan selalu didatangi oleh ular yang diciptakan dari api itu.

Kisah ini menjadi menarik setelah saya coba mesinkronisasikan dengan beragam pengalaman serta pertanyaan yang terus bergulir di kehidupan saya. Saya hanya berandai, bila saya terlahir sebagai non-muslim, maka apa saya juga akan belajar salat? Mengaji? Berpuasa?

Islam saya hanya warisan orang tua. Saya bukan Ibrahim yang mencari Tuhannya. Maka tak heran, iman saya kerap goyah. Berbeda dengan Bapak Ismail yang bisa tegar saat berjumpa ular yang menghasut agar dirinya tak menyembelih Ismail, putra tersayang. Itu semua tak lain karena ia begitu amat mengenal Tuhannya. Ia mencari. Ia akrabi. Sehingga dengan jelas, Ibrahim bisa mendengar bahwa penyembelihan itu benar-benar perintah Tuhannya. Itulah Ibrahim yang memiliki keyakinan kokoh setelah pencarian.

Kita?

Bila seorang seperti Ibrahim yang hidup beribu-ribu tahun lalu saja mencari, apakah kita hanya berdiam diri? Saya terpekur mendapati pertanyaan yang saya lontarkan sendiri. Sedangkan saya sadar, ular itu takkan mati hingga sangkakala ditiup. Ular itu banyak menghasut lewat surga, neraka, pahala, dan dosa. 

Saya jadi teringat sebuah puisi Rabiah yang dikutip di novel ini;

"Wahai Tuhanku, sesudah daku mati, masukkanlah daku ke neraka. Dan jadikan jasmaniku memenuhi seluruh ruang neraka sehingga tak ada orang lain dapat dimasukkan ke sana.

Wahai Tuhanku, bilamana daku menyembah-Mu karena gairah nikmat surga, maka tutupkan pintu surga selamanya bagiku."

Maka, untuk siapa atau apakah ibadah Rabiah?

Senada dengan lagu Alm. Chrisye yang digubah Ahmad Dhani;


Jika surga dan neraka tak pernah ada
Masihkah kau bersujud kepada-Nya
Jika surga dan neraka tak pernah ada
Masihkah kau menyebut nama-Nya

Sampai detik ini pun saya masih mencari seperti Ibrahim. Pencarian yang takkan usai sampai ajal datang. Karena hidup, buat saya, adalah perjalanan menuju kesadaran. Kesadaran hingga mata tak lagi hanya melihat, telinga tak hanya mendengar, dan hati tak lagi hanya merasa.


Penting bagi kita untuk mewaspadai ular keempat itu. Agar kita beribadah tak seperti adik saya, yang hanya mau salat dan mengaji bila diberi seribu rupiah saja. Naif.

Salam,
Fatih.

0 komentar:

Posting Komentar