Selasa, 16 April 2013 - 0 komentar

(Bergoyangan di) 23 Episentrum

selesai baca Mar 13
Harusnya, buku ini saya miliki setahun lalu. Saat seorang perempuan menyarankan untuk melahapnya. Tapi, entah mengapa dalam 12 bulan kemarin, meski beruang, saya tak kunjung juga berani menjemputnya dari rak toko buku. Selalu saja ada dalih untuk tak mengacuhkannya. Meski, jujur, saya selalu tergoda membaca judul di atas warna kuning cerah tiap kali ke restoran buku.

Tiga minggu yang lalu, tidak ada lagi alasan untuk mengabaikannya. Datang ke restoran dengan dompet tebal, saya harus menuruti wishlist setahun lalu. 23 Episentrum pun masuk ke kantong belanja. Setelah membayar, saya baru sadar, bahwasanya keperluan ke restoran sore itu hanya untuk membeli buku-buku referensi penunjang skrpisi. 

Blunder?
BIG NO! Jika mau dirunut kembali, 12 bulan silam, saya masih duduk di semester enam. Sekarang berdiri tegak semester akhir. Dan terkejutlah saya digoyang episentrum saat menyantap halaman demi halaman.

Novel ini rupanya berkisah tentang perjalanan anak manusia mencari arti bahagia di level karir. Mencari timbangan akurat kesuksesan. Mestikah ditandai dengan uang yang menggunung, atau kebahagiaan yang melambung? Itulah esensi cerita dari novel serta satu buku suplemen di dalamnya.

Semester akhir. Kelanjutan karir. 

Dalam perjalanan kuliah, dulu saya berpikir semester akhir adalah titik api menuju pentas akbar perayaan yang disebut wisuda. Tapi, ketika sudah benar-benar di tepi semester delapan, saya sadar, semester akhir adalah gempa tanpa skala yang menggoncang dada. 

Menyelesaikan skripsi bukan perihal yang sulit buat saya. Itu tak ubahnya menulis makalah, hanya saja lebih tebal. Tapi pertanyaan akan terus bergulir. 

Setelah wisuda mau ke mana?

Sebuah pertanyaan yang saya selalu kewalahan untuk menjawabnya. Detik berganti menit, menjelma jam, mewujud hari, hingga menggenap bulan. Pertanyaan itu belum juga bersanding dengan jodohnya. Sementara waktu tak mau kompromi. 

Maka, di sinilah 23 Episentrum mendadak menjadi gempa lebih dahsyat yang menggoyang-goyangkan pikiran saya. Mendadak kepala saya berteriak, Sinkronisitas!

Unsur itu begitu ajaib dalam lingkar misteri hidup. Seperti angin, yang sepintas lalu tapi meninggalkan dingin. Sinkronisitas membawa saya pada waktu yang tepat untuk bergoyangan di 23 Episentrum. 

Dalam novel itu, Adenita mengungkap misteri kebahagiaan yang dialami Matari, Prama, dan Awan. Ketiga anak muda itu sama-sama mempertanyakan kebahagiaan dari setiap jengkal karir yang mereka jalani.

Matari terus bergulat pada kenyataan bahwasanya ia mesti melunasi utang-utangnya. Sembari terus mengejar mimpinya menjadi news anchor.

Sedangkan Prama bersama tumpukan uangnya merasakan bahwa hidupnya bukan lagi apa-apa. Di tengah prestasi kerja yang gemilang, ia semakin merasa hilang.

Lain lagi dengan Awan. Passion-nya terus menggelegak meski ia sudah coba menguburnya tiga tahun dengan bekerja di bank. 

Mereka sama mencari satu; kebahagiaan.

Dan sampailah mereka pada episentrum yang menggoncang dunia mereka. Episentrum membawa Matari pada daya survival-nya untuk terus berjuang memeloroti angka utangnya. Episentrum pula yang membawanya sampai pada Prama yang kosong. Sedangkan Awan memenangkan perjudian, dengan resign sebagai pegawai bank dan menjadi penulis skrip film. 

Gempa itu mengguncang dada mereka!

Dadaku?

Sepertinya episentrum itu masih merangkak. Belum tiba pada titik guncangan utama. Tapi saya akan membuat episentrum itu berlari. Kebahagiaan itu memang menjadi destinasi utama, tapi kalau tanpa uang juga bisa berarti bukan apa-apa. 

Saat ini, kebutuhan hidup sudah bisa saya tutupi lewat gaji sebagai pendidik. Tapi itu belumlah cukup untuk menggelembungkan kebahagiaan saya yang kian hari kian menipis. Saya hanya ingin seperti para pemain bola. Mereka bekerja sesuai dengan passion. Sehingga tiap pertandingan ditungguinya dengan antusias yang meledak-ledak. Mereka juga terus berusaha untuk menjadi yang nomor satu. Di situlah tolok ukurnya. Ketika sudah tidak ada lagi ambisi untuk menjadi yang terbaik dalam dunia yang kita geluti, maka ada tanda tanya yang belum tuntas di dalamnya.

Jadi, kira-kira beginilah yang saya inginkan selepas kuliah nanti.

Menjadi jurnalis. Menulis buku. Jalan-jalan sambil melakukan liputan. Dan, sedikit mulai berusaha merintis rumah kopi. Untuk itu, saya akan selalu giat menjadi nomor satu.

Tapi, sementara ini saya hanya bisa duduk di meja dalam ruangan sempit. Terus mengetik skripsi. Dan berharap skripsi ini adalah tiket yang akan mengantar saya untuk perjalanan selanjutnya. 

Skala episentrum itu terus bergeser. Menuju titik pusat. Dengarkah kau?

Salam,
Fatih.

0 komentar:

Posting Komentar