Sabtu, 25 Mei 2013 - 0 komentar

Teman Baru yang Melumpuhkan

Telaga   Khayali
Siang tadi, saya berkenalan dengan seorang pemuda. Saat itu, ia sedang duduk di bawah teduh pohon mahoni di tepi telaga. Mukanya kucel. Kakinya terus digoyangkan di permukaan air. Karena matahari sedang panas-panasnya membakar ubun-ubun, saya duduk di sebelahnya dan menawarinya sebatang rokok. Tetapi ia menggelengkan kepala. 

"Mungkin bisa sedikit menenangkan," saya menyarankan.

Akhirnya, ia melucut sebatang. Ia sulut. Hirupan pertama membuat pipinya cekung. Asap putih berhembus dari mulutnya. Garis muka yang tadi kusut, sedikit menegas. Jarak kami hanya beberapa senti saja. Tapi, saya masih sibuk menyalakan korek saya yang mendadak macet setelah ia gunakan. Lalu, ia menyorongkan rokoknya yang menyala. Sial, umpat saya dalam hati. Mengapa keadaan tiba-tiba berbalik arah seperti ini? 

"Boleh aku sedikit cerita kepadamu?" ujarnya setelah menerima kembali rokoknya.

Saya mengangguk. Saya hisap dalam-dalam rokok saya. Menanti kisah yang akan dituturkan orang yang baru saya kenal. Angin berembus pelan. Mencipta riak kecil di telaga. Laki-laki itu berdehem, lantas bercerita.

"Aku lahir di waktu yang salah. Atau mungkin dari rahim yang salah. Oh, tapi kita tidak bisa memilih dari pintu rahim mana kita akan dilahirkan. Di usia delapan belas, orang tuaku mengirimku belajar di kota yang jaraknya 1985 kilometer dari rumah.

Sebagai lelaki muda yang haus pengalaman serta petualangan, kuterima perintah itu dengan segenap kerelaan. Namun, setelah hampir empat tahun berselang, aku menjadi seorang buta yang kehilangan tongkat. Apa yang dulu kusambut dengan sukacita kini ternyata bisa menyesatkan. Aku sampai lupa, sebenarnya untuk apa di sini? Belajar? Tentang apa? 

Sekarang aku dua puluh satu. Tinggal di kontrakan. Motor butut. Dompet tipis. Hampir selalu tertinggal bila harus bersaing dengan anak muda lain. Bahkan, hingga di usia ini pun, aku belum mendapatkan ciuman pertama. Ini hal yang memalukan, kata temanku. Kurasa, mereka tidak tahu betapa payahnya telah kucoba untuk mendapatkan itu. Jangankan ciuman pertama, perempuan spesial saja tak ada di sampingku. Akibatnya, tiap dua minggu sekali aku harus isi pulsa tanpa harus tahu untuk menghubungi siapa. 

Aku juga seorang pemimpi yang muluk. Seperti pungguk. Selalu lupa bahwa tangannya tak pernah sampai untuk memeluk gunung. Usai merampungkan kuliah strata satu akhir tahun ini, aku ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Meski harus pura-pura lupa bahwa uang di rekeningku tinggal 150 ribu saja. Tanpa tahu malu, aku pun mempunyai hasrat berkeliling nusantara dan dunia. Meski harus pura-pura cuek dengan fisik yang lebih menyerupai penjudi yang kalah. Dan yang paling memalukan, aku juga bermimpi menjadi seorang penulis sukses. Kurasa impian inilah yang paling brengsek. Setidaknya, selalu menggebuki mental dan jiwa menjelang tidur.

Prosa adalah genre penulisan yang kutekuni. Bukan karena benci puisi, melainkan di kota perantauan ini telah banyak orang yang menulisnya. Sehingga akal picikku pun menyimpulkan prosa memiliki lingkar persaingan yang lebih longgar. 

Tapi aku keliru. Prosa adalah dunia gelap. Kerap memakasaku berputar-putar sekitaran plot, alur, tema, tokoh, gaya bahasa, hanya untuk mengatakan aku tidak punya uang. Memang, cukup lumayan hasil menulis prosa selama dua tahun belakangan. Ada berlembar-lembar piagam pernghargaan yang terkumpul. Juga pundi-pundi rupiah yang telah dihasilkan. Tapi, belakangan ini aku kehilangan daya sentuh Midas pada apa yang kulihat, kurasa, kubaui, dan kudengar.

Mungkinkah aku telah cacat? Jangan dulu. Masih banyak mimpi yang mesti ditunaikan. Oh ya, kau juga perlu tahu kesibukanku saban hari. 

Setiap pagi, setiap pukul tujuh kurang berapa, aku sudah harus menggeber motor butut produksi 17 tahun silam. Bangsat-bangsat begini, aku harus bekerja untuk perut, rokok, dan buku. Meski hasilnya tak seberapa dengan keringat yang dikeluarkan, aku mensyukurinya. Sepulang kerja, sekitaran satu jam menjelang asar, adalah waktu terbaik untuk bersantai. Merokok. Socmeding. Atau hanya duduk sambil melamun. Tidak bisa lama, karena mesti mengajar ngaji. Sekitar pukul delapan kurang berapa, baru punggung ini dapat disandarkan.

Bohemian Rhapsody adalah teman paling setia melangut malam. Kesetiaanya setara dengan kopi dan rokok di sebelah laptop. Pada saat-saat itulah waktu banyak terbuang sia-sia.

Kompleksitas musik dan lirik lagu karangan Freddie itu tak bisa juga menggedor daya imajinasiku untuk berpindah ke halaman putih polos. Detik menjadi menit, menjelma jam, dan malam terus beringsut. Tak juga satu kalimat pun terpatri. Ide-ide itu hanya menjadi penari liar di batas bayang dalam kepala. 

Seperti sudah kubilang, dunia menulis adalah dunia bengis. Ia tak memperdulikan latar belakangmu. Sekali pun kau adalah pemenang di pelbagai kompetisi, itu tak menjaminmu akan dengan mudah bisa menulis karya semanis milik maestro. Ini sering membuatku tersesat di dalam kamar. Aku hanya duduk, menjelma seonggok daging busuk. Sementara Freddie terus merapal mantra di bagian terakhir lagunya.

Aku sendiri tidak yakin, apakah menulis adalah sebaik-baiknya jalan yang kutempuh untuk menghabiskan hidup. Setiap kembali ke balik meja, yang ada hanya diam. Jejari seolah lumpuh. Mereka tak bisa kembali menari meski Freddie sudah memekik, will you do Fandango?

Semakin aku coba berlari, mentas dari gulita dunia menulis, semakin terbesit hal-hal yang telah menulis lakukan untukku. Olehnya, aku dibawa ke dalam berbagai dimensi pengalaman serta belahan bumi lain. Mulai dari membeli laptop hingga berkeliling separuh nusantara tanpa biaya sendiri. 

Tapi, tak jarang juga menulis menjungkalkanku ke jurang kesepian. Saat-saat di kamar tanpa ada orang atau suatu apa pun yang peduli. Kesendirian menjadi selimut sepanjang malam. Menulis, yang selama ini telah kupercayai, mendadak menjadi sosok hitam pengkhianat yang menggunting dalam lipatan. 

Di luar sana, banyak teman-teman yang terkesima dengan tulisanku. Puji-puji itu membuatku bungah dan terbang. Seakan aku lupa, bahwasanya tiap malam sudah tidak ada lagi karya-karya yang rahimku lahirkan.

Apa aku bakal mengalami nasib Hemingway? Nasib naas yang merenggut nyawanya. Tapi siapa pula aku yang berani menyandingkan diri sejajar dengan maestro prosa modern itu. Aku hanyalah seorang dua puluh satu, yang sedang mencoba memercayai menulis. 

Aku benci omong kosong. Tindakan itu hanya akan menambah jumlah sampah di muka bumi. Menulis juga semacam sudah menjadi omong kosong. Ia, yang pada mula-mula kubanggakan, menjadi jalan tak berlampu. Kelimpungan. Ya, itu aku. Ketika teman-teman selalu percaya bahwa igal jemariku melebihi kemolekan penari zapin, kepalaku justru jadi batu yang gagal menjadi pondasi." 

Lelaki itu terus merocos. Sempat tadi saya dengar ia menyebutkan alasannya menulis untuk menarik wanita. Pernyataan ini cukup menggelitik. Karena saya amat paham bahwa wanita saat ini lebih mudah ditarik dengan uang atau ketampanan. Sedangkan teman baru saya ini jauh panggang dari api. Tentang hal ini, ia bahkan berkoar-koar bahwa novel dan cerpennya bisa menarik ratu idamannya. Sebenarnya ingin mengikik, tapi tak sampai hati bila mendengar nada bicaranya yang tinggi. 

Saya amat kasihan pada teman baru saya ini. Tapi tak banyak hal yang bisa saya lakukan buatnya, kecuali terus menyorongkan rokok ketika miliknya padam. Perlahan, cerocosannya mulai tak terdengar. Gulungan tembakau itu berhasil membungkam mulutnya. 

Saya memberanikan diri bertanya, "sekarang apa kau masih percaya pada menulis, yang kausebut sebagai serigala berbulu domba itu?"

Ia mengetuk rokok yang abunya telah memanjang. "Aku harus jujur," katanya, "aku masih mencintai menulis, meski jalan itu mesti kususuri hanya dengan pelita."

Saya kagum mendengar penjelasannya. Ia seperti Tagore yang gemar bermetafora. Saya yakin, bila mau berlari lebih pagi dan berkeringat lebih banyak, ia akan menjadi penulis besar. Karena saya selalu percaya kekuatan cinta itu dapat menyulap penjara menjadi surga.

"Yakin?" ulang saya.
"Yakin!"
"Kau mau rokok lagi?"
"Terima kasih. Tapi aku harus segera pulang. Aku mendengar menulis memanggilku."
Sesaat sebelum ia menyalakan motor tuanya, saya teringat belum sempat menanyakan namanya. Saya menghampirinya yang sedang memakai helm.

"Namaku Fatih Muftih. Kau boleh memanggilku Fatih."

Pada saat yang sedemikian itu, tungkai kaki saya melemas. 

Fatih, lelaki yang baru saya kenal, melambaikan tangan. Seolah tak pernah terjadi apa-apa. 

"Pak Fatih..." Sakina, murid saya, memanggil dari depan kelas. "Sudah bel masuk!"


Salam,
Fatih.

0 komentar:

Posting Komentar