![]() |
selesai baca Mar 13 |
Adalah sebuah kebahagian bagi para penulis ketika karya-karyanya diterbitkan, didistribusikan skala nasional, dan dibaca oleh khalayak. Sekiranya itulah impian sesiapa yang memilih untuk menempuh dunia kata-kata.
Sebelumnya, saya ucapkan selamat kepada Guntur Alam atas Jurai-nya. Anak Muara Enim ini saya kenal ketika di Banten. Lewat kompetisi cerpen kami bersua dan berbicara. Pribadinya supel dan menarik. Juga terbuka pada saya, yang masih hijau belajar menulis. Benar saja, dari 15 finalis, ia ditasbihkan menjadi juara pertama pada pengumuman yang digelar di Hotel Ratu Bidakara, Serang.
Lalu ketika tahu bahwa novel perdananya itu sudah beredar, saya buru-buru ingin PO. Tapi setelah dihitung-hitung, ongkos kirim yang terlampau besar membatalkan niat saya. Maka saya pun lebih memilih menunggu Jurai datang ke Tanjungpinang. Kau tahu, inilah derita tinggal di ujung negeri, distribusi berjalan lamban.
Setiap Sabtu usai bekerja, bila tak ada kesibukan, saya lebih suka berdiri berjam-jam di Toko Buku Lotus. Di ibu kota Kep. Riau ini belum ada Gramedia. Biasanya selama di sana, saya sibuk mengamati sampul-sampul buku yang dipajang. Seolah saya bisa mendengar ejekan mereka, "Mana bukumu?". Tapi justru ejekan itulah yang saya cari. Istilahnya sebagai daya tolak untuk kembali bergairah menulis.
Lalu sampailah mata saya pada barisan buku di rak new arrival.
Jurai sudah datang. Tak perlu berpikir dua kali. Alokasi jajan buku bulan ini untuk Jurai. Mengapa? Sebagai orang yang sama-sama menulis, saya tahu betul payah, letih, dan "hantu" ketika merampungkan sebuah naskah. Maka sungguh keterlaluan mereka yang meminta buku secara gratis. Saya menamai mereka musuh paling bengis bagi penulis.
Novel setebal 298 halaman itu dalam singkat saja sudah lumat saya baca. Saya bisa secepat itu karena "merasakan" ketuk tenaga ketika Guntur menuliskannya. Semacam energi, yang kasat tapi menyengat. Begitulah perasaan ketika menyelami kedalaman Jurai.
Sedikit-banyak, sebuah cerita mewakili realitas kehidupan. Pun Jurai. Guntur menguraikan kisah seorang Catuk, anak kelas 5 SD, yang mesti berjuang menentang segalanya; kemiskinan, "pengkhianatan" sang bapak, sepatu laparnya, diskriminasi keluarga, serta cinta monyetnya yang canggung. Bukankah dari sekian "musuh" Catuk juga menjadi rival kita menuntaskan hidup?
Kemiskinan, misalnya. Hanya karena ketika lahir, kita tidak bisa memlih orang tua. Setiap anak pasti menginginkan orang tua yang berkecukupan, sehingga memudahkannya meraih mimpi. Tapi, benarkah kemiskinan itu sebagai penghalang?
Belum tentu juga. Catuk dengan teman-temannya berhasil menjungkirbalikkan kepongahan materi yang menghalangi mereka menuju Muara Enim. Semangat, sahabat, dan cinta, ternyata lebih jauh diperlukan daya dobraknya.
Pun demikian dengan saya. Saya banyak bercermin pada Catuk. Saya mesti menutup muka saya ketika makin diintropeksi lagi, makin saya tidak ada apa-apanya dibanding Catuk. Dia tetap tegar dan tersenyum menghadapi segala realitas hidupnya. Sedangkan saya? Kerap kecut hati. Acap merasa dunia-ini-tak-adil.
Walhasil, novel ini pun selalu saya rekomendasikan kepada anak-anak didik saya. Terutama pada mereka yang berjam tangan 1.5 jutaan, yang berponsel 8.7 jutaan, juga yang tidak mau sekolah bila bukan mobil yang mengantarkan. Jika saya saja malu terhadap Catuk, maka saya harap Catuk pun dapat "mempermalukan" murid-murid saya.
Satu lagi.
Selain "ketukan tenaga" yang saya rasakan selama membaca Jurai, ada sesuatu yang lebih membuat saya banyak berdiam, berpikir, dan lantas menanyai penulisnya lewat twitter.
Aroma kenangan. Itulah yang meruap tiap kali saya beralih dari satu halaman ke halaman lainnya. Guntur tak memungkiri. Ia mengaku memang ide-ide menulis novelnya itu based on true. Menurut Guntur, "Karena kenangan mengajari banyak hal..."
Kenangan oh kenangan. Betapa jalan ini begitu menyesatkan, namun tetap saja memabukkan. Selalu punya daya pikat untuk sekadar melongok ke belakang. Karena kenangan serupa tanaman, semakin dipelihara semakin bermekaran.
Saya banyak belajar dari seorang Guntur.
Terima kasih telah mengirimi "cermin" bernama Catuk.
Semoga bisa kembali bersua.
Salam,
Fatih.
0 komentar:
Posting Komentar