![]() |
foto lima tahun lalu |
Hari Sabtu, bagi seorang jomblo, adalah neraka. Pada saat itu, eksistensinya sebagai seorang muda dipertaruhkan. Semenjak matahari pagi, otaknya sudah berputar, mencari kemana akan melampiaskan malam. Begitu juga saya. Di akhir pekan, saya selalu mencari kesibukan dalam rangka upaya menghindarkan diri dari kesuraman tanpa pasangan. Sakitnya? Sedihnya? Biar saya sendiri yang merasakan.
Tetapi, Sabtu (16/3) ini ada sedikit kejutan. Artinya, ada sesuatu yang tak biasa. Sepulang kerja, saat penat sedang meraja-raja di kepala, ponsel saya berdering. Ada keengganan untuk menjawab. Saya melongok nama yang tertera di layar.
Lutvatul Vaick is calling...
Apa saya tidak salah baca? Atau si pemanggil tanpa sengaja menekan nomor saya? Bisa jadi, bukan. Karena acap kali, sebagian teman saya mengaku ketika duduk, tanpa sengaja ponselnya menekan tombol hijau. Jangan-jangan panggilan saya ini berasal dari bokong. Bukan jempolnya yang menjadi media niatannya untuk berbicara dengan saya.
"Hallo..."
Suara itu sudah berbeda dari lima tahun lalu, saat saya mendengar kali pertama. Lebih bulat. Lalu saya membalas salamnya.
"Kau tahu siapa aku?"
Bagaimana mungkin saya tak mengetahuimu. Kamu adalah wanita pertama yang mengajarkan saya tentang cinta di usia pertumbuhan. Selain dari pada itu, kamu juga seorang santriwati yang pernah mengirimi beberapa puisi yang masih saya simpan sampai sekarang. Bagaimana mungkin saya lupa?
Maka, selanjutnya adalah percakapan formalitas seputar kabar, kesibukan, kuliah, dan... pasangan.
Dari akun jejaring sosialnya, saya tahu, hari ini dia sudah ber-in-relationship. Seorang pria yang usianya lebih tua tiga tahun darinya. Lalu pertanyaan itu menjadi bumerang, memutar-balik dan menghantam saya sendiri. Saya tertohok. Kemudian saya kabarkan padanya, bahwa terakhir kali saya jadi pacar seorang perempuan sekitar tiga tahun lalu.
"Masa sih? Nggak percaya deh kalau dilihat dari status FB dan tweet-nya yang cerdas, romantis, dan dewasa banget."
Sampai hari ini, saya juga belum mengerti kedewasaan menulis status dan me-tweet itu ada kaitannya dengan punya pacar atau tidak. Yang jelas, sebelum mencoret linimasa, saya selalu menyortir sampah-sampah yang tak pantas dilontarkan.
"Ah, berhubungan di FB sih emang bukan jaminan. Tapi soal hati siapa yang tahu ya, kan?"
Selama hampir empat tahun di Tanjungpinang, sederet prestasi yang pernah saya toreh dari level kelurahan sampai nasional. Tapi tak satu pun ada daftar prestasi atas nama saya menggaet hati seorang gadis. Saya merasa ada sesuatu yang tak beres dengan kondisi seperti ini. Ketika teman-teman saya bisa dengan mudahnya berganti kekasih semudah ganti baju, saya justru terus setia dengan "baju-baju usang" saya. Tiap hendak memarkir satu baju, saya selalu berpikir ada bau serta noda kenangan yang masih melekat di atas bahannya.
Sekadar info, pembicaraan via telepon dengannya ini adalah yang pertama setelah kelas dua SMA. Sehingga, saya perlu mencari informasi tentang hal-hal apa yang sudah berubah dengannya.
"Sekarang aku kurusan. Empat puluh satu-dua gitu udah maksimal. Kebanyakan galau kali ya."
Liburan lalu, teman-teman saya juga mengabarkan tentang perubahan drastis perempuan ini. Hari ini, ia mengonfirmasinya sendiri. Tetapi soal kegalauan, tak satu pun yang menceritakannya. Kalau galau itu benar-benar bisa menguruskan, seharusnya obat anti-galau harus ditemukan oleh para pakar, pikir saya.
"Aku belum bisa kayak orang kebanyakan, yang let it flow aja. Aku itu orangnya gampang mikir. Masalah-masalah yang seharusnya nggak dipikir, malah aku pikirin. Jadi deh sering lupa makan."
Seharusnya dia tahu, bahwa easy-going itu bukan kemampuan, tapi kecakapan. Perlu latihan yang tekun, rutin, dan intens guna menguasainya. Setahu saya, sepelik apa pun kita berpikir tentang masalah, maka jurang itu takkan pernah bisa dilalui. Pada titik solusilah seharusnya kita menitikberatkan. Saya sarankan padanya untuk belajar menggeser sedikit sudut fokus kameranya.
"Itulah... makanya aku jadi lebih kurus. Eh, maksudku terlihat lebih seksi!"
Ternyata wanita paling anti berasosiasi dengan kata kurus. Mereka lebih gemar menyebutnya seksi. Perempuan yang usianya sepuluh bulan lebih tua dibanding saya ini juga memastikan bahwa dia sudah berbeda segi penampilannya.
"Aku hanya khawatir kautergoda saja. Haha..."
Saya menggaruk kepala mendengar pernyataannya. Lagi pula bagaimana caranya dia tahu saya bakal tergoda (lagi) padanya atau tidak. Soal hati siapa yang tahu, saya balikkan kata-katanya.
Sekarang saatnya saya yang berkuasa atas dunia komunikasi Jember-Tanjungpinang ini.
"Ada sesuatu yang telah kauberikan padaku. Dan, itu sepertinya akan abadi."
Ia tercengang mendengar kata-kata saya. Sampai-sampai ia meminta saya mengulangnya lagi. Lantas, dengan suara antusias, ia meminta saya menjelaskan sesuatu yang kedengarannya begitu agung.
"Kau tahu," kata saya, "huruf d-mu telah mengilhamiku. Sekarang aku jadi bisa menulis huruf d lebih bagus. Dan itu karena d di dalam puisi-puisi (dan surat putus) -mu." Tentu saja, yang di dalam kurung itu tidak saya sebutkan.
Ia terbahak. Karena sebelumnya, ia mengira sesuatu yang saya maksudkan itu sesuci ayat atau seberharga berlian.
"Dan inilah yang membuatku tak mungkin melupakanmu."
Perbincangan terus berlanjut hingga setengah jam lebih dua menit. Sebuah perbincangan manis, indah, serta menyenangkan setelah lima tahun lebih saling bisu. Saya juga mengakui bahwasanya bincang-bincang ini lebih excited dibandingkan lima tahun lalu, saat kami masih bermain asmara. Tanpa beban. Saya tak perlu khawatir tentang penilaiannya. Juga tidak perlu berpretensi di matanya.
Tentang romansa, memang selalu ada pelajaran serta kenangan. Segala jejak buruk tentangnya, tentunya sudah saya kubur dalam-dalam. Saya harap dia juga berlaku sama. Saya toh, saat itu, hanya pemuda 16 yang baru mengenal eros.
Terima kasih untuk segala hal selama ini, Crystal, itu panggilan kesayangan saya buatnya dulu. Especially, for your d.
Mari kita saling memetik buah hikmah dari pohon kenangan itu.
Salam,
Fatih.
0 komentar:
Posting Komentar