Kamis, 14 Maret 2013 - 0 komentar

Ada yang Sibuk di Dalam Kepala

Beberapa pekan terakhir, rasanya amat sesak untuk menarik napas dalam-dalam. Panjang-panjang. Lega-lega. Dada ini seperti dihimpit sekarung bawang yang harganya sedang melonjak di pasaran hari ini. 

Awalnya, saya pikir kesesakan ini mencuat perihal dompet saya yang kian menipis seiring bertambahnya hari. Ternyata itu hipotesa dangkal. Terlalu superior bila lembar helai sepotong kertas itu mengontrol dinamika hidup saya. Meski saya harus jujur, bila kertas-kertas itu amat menarik bila dimiliki dalam jumlah yang banyak. Tetap saja, saya rasa bukan itu faktor penyebab kesesakan itu.

Teliti punya telisik, saya mulai menemukan sebuah tarikan dalam simpul rumit ini. Tarikan pertama tentunya akan sangat berguna, mengingat tarikan-tarikan selanjutnya adalah efek domino yang bersifat memudahkan. 

Setidaknya, temuan itu juga membuat saya dapat merangkumnya menjadi sebauh frasa sederhana; ada yang sibuk di dalam kepala.

Berikut, adalah mereka yang berpusing-pusing, bising, dan ceriwis dalam kepala saya. 


1. Sophie Admunsend
Remaja lima belas tahun ini sudah mengusik dan menggaruk akal pikir saya selama lebih-kurang dua bulan. Ternyata tak cukup waktu selama itu untuk merampungkan Dunia Sophie. Petualangan serta pembelajaran filsafatnya bersama Alberto Knox seolah memutarbalikkan mainstream yang sudah saya teguhi kebenarannya. Josten Gaarder, si pengarang, membawa obor yang sulit ditampik nyala dan terangnya. Melahap novel ini tak semudah menyantap sajian novel picisan. Setiap beberapa halaman, saya mesti mengambil notes, mencatat hal-hal penting. Dan, yang paling menjengkelkan, ketika saya terjebak dalam paksaan untuk berpikir. Kiranya, inilah yang membuat dua bulan itu bukan apa-apa untuk mengenal Sophie. Sosok imajinernya terus bernyanyi di kepala saya. Tentang filsafat, keyakinan, agama, pilihan hidup, dan sikap sebagai manusia.

2. Skripsi
Dia boleh saja benda mati. Petak-petak. Tapi punya daya pening yang bikin pusing tujuh keliling. Keberadaannya dalam kepala saya, memaksa saya membaca dan membongkar buku-buku ilmiah. Dan kau tahu, selalu menyebalkan untuk membaca diktat-diktat kuliah yang kaku, baku, dan garing. Tapi ia lahir akibat keputusan yang saya buat sendiri. Sayalah orang tuanya. Keputusan saya untuk kuliah, menyemai benih mata kuliah hingga akan berpunca pada tugas akhir ini. Bagaimana pun, ia ada untuk diselesaikan. Adalah wajar sekali dia merengek, minta diperhatikan. Ini mengingat eksistensinya yang seolah menjadi "tiket" saya untuk melanjutkan perjalanan hidup. "Ke Tanjungpinang untuk kuliah." Mudah sekali saya mengucapkannya. Bila telah usai, saya sudah tak pantas lagi berucap seenteng itu. Ia akan tumbuh dan bermetamorfosis menjadi, "Ke Tanjungpinang untuk bekerja." Nah, inilah yang menjengkelkan. Kata bekerja akan membuat saya terlihat tua dan serius menanggapi lelucon hidup ini. Kembali ke paragraf pembuka di atas, potongan kertas itulah yang menjadi tolok ukur seseorang yang bekerja. Kalau makhluk petak ini tak keburu dirampungkan, mau jadi apa saya di Tanjungpinang? Mahasiswa berlumut? Mahasiswa karatan? Sontak saya sudah buat keputusan untuk segera merampungkannya. Lalu karenanya, di tangan saya akan ada selembar "tiket" yang akan membawa saya hingga ke titik entah. Karena saya tahu entah tetaplah sebuah nama dan atau tujuan.

3. Cerita atawa Ide-ide Lapuk
Setelah saya menabalkan hati serta pikir untuk menjadi seorang penulis, saya sering diserang ide-ide yang blingsatan. Kerap datang sporadis. Tak peduli apakah saya sedang di jalan, makan, ngopi, nonton bola, galau, dan bahkan ketika eek. Mereka barisan kavaleri yang mengejutkan. Juga seperti jelangkung, datang tak diundang, tapi selalu tak ada ketika dibutuhkan. Efeknya jelas, ketika mereka mengerubung di kepala saya, satu-satu minta ditumpahkan. Minta dituliskan. Inilah perkaranya. Saya kerap lepas konsentrasi untuk menggarap yang mana satu. Mereka tak pernah bisa sabar. Merengek dan menangis dalam kepala ketika tidak segera dituliskan. Sebenarnya, ini adalah keadaan yang menguntungkan bagi mereka yang gemar menulis dan ingin jadi penulis. Tapi, bagi saya, ini adalah beban manakala ada satu dari mereka yang mati, menguap begitu saja. Seolah meninggalkan serpihan beling di lantai. Betapa berdosanya saya membunuh anak-anak ide saya. Sedangkan mereka sendiri juga tidak pernah mau tahu, bahwasanya ada banyak yang bernyanyi di kepala saya. Sekarang, saya hanya meminta kepada mereka untuk lebih sabar menghadapi saya yang bebal ini sebagai inang pilihannya. Saya selalu menekankan pada mereka, bahwasanya ada saat yang tepat untuk lahir ke dunia yang merah saga ini.

Saya selalu percaya - dan sampai kapan pun keimanan ini takkan berubah - bahwasanya Tuhan tidak pernah tidur. Jangankan itu, ngantuk saja bukan tabiat-Nya. Jadi selalu ada urusan di balik berisiknya mereka di kepala saya. 

Semoga ini menjernihkan.

Salam,
Fatih.

NB. Mereka, yang berisik dan sibuk dalam kepala saya, kian hari terus bertambah. Jadi, saya harapkan anda tidak makin berisik menghadapi saya. Kalau anda mau sedikit nyepi, bisa jadi kepala anda lebih berisik dari apa yang saya punya. Selanjutnya, berpulang pada anda. Merawatnya ataukah memusnahkannya. 

0 komentar:

Posting Komentar