![]() |
selesai baca Jan 2013 |
Setelah dimabuk pencarian Bodhi di Asia Tenggara bersama Kell, kali ini saya disambar kekuatan listrik Elektra. Dari perempuan ini, saya banyak belajar tentang cara mencintai diri kita sendiri. Bahwasanya selalu ada kekuatan dahsyat yang tersembunyi di balik tubuh badani.
Ketika kekuatan itu berhasil dikeluarkan maka takkan ada tembok yang menghalangi. Semuanya bakal terasa mudah saja untuk dilewati. Elektra mampu mengubah semua keadaan tercerabutnya lewat listrik yang mengalir di dalam tubuhnya. Sebuah tenaga yang tak pernah disadari sebelumnya.
Pertemuannya dengan Ibu Sati juga menggambarkan bahwasanya tak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Sumpah, ada satu fakta yang sebelumnya saya anggap biasa saja, namun ternyata amat memudahkan saya dalam memahami Petir.
Pada suatu hari, Ibu Sati mengajak Elektra untuk menemuinya di puncak Dago Pakar. Di sanalah, Elektra menemukan kesadaran kekuatan yang bersemayam di badannya.
Dago Pakar!
Ketika membaca bagian ini, sontak saja memori saya mengakses pengalaman ragawi dan ruhani yang pernah saya dapati di sana.
Dago Pakar pernah saya kunjungi di suatu Rabu penghujung Desember tahun lalu. Selama perjalanan, mata saya dimanjakan dengan view pohon-pohon pinus yang berbaris harmonis, jalanan menanjak, dan bebukit hijau setelah sampai di sana. Belum lagi bila ditambah dengan cuaca dingin Bandung, itu semakin menambah kesan menarik Dago Pakar.
Dan saya ke sana dengan... dia!
Dia yang mengajari saya bahwa hidup ini adalah bebenang yang saling kait-menjalin. Dia yang mengenalkan saya dengan Dago Pakar, sehingga saya mudah kali menikmati pengalaman spiritual Elektra dan Ibu Sati.
Dia yang selama di sana tak banyak bicara, ternyata menunjukkan pada saya bagaimana Tuhan bicara lewat alam, bisik dingin, bulir hujan. DIA seolah melebur pada dia yang hanya bersidekap tangan menghalau dingin. Betapa itu semua baru saya sadari sekarang. Saat saya telah benar-benar telah keluar dari Bandung dan segala fantasinya.
Dalam sekuel ketiga ini, selama membaca, saya seperti kembali diajak menyusun keping pengalaman saya melarung diri empat hari lima malam di Bandung seorang diri. Betapa dalam kesendirian sepanjang jalan Supratman - Dago ternyata banyak riuh yang berkecamuk di dada. Sekarang tugas saya adalah menata riuh itu ke dalam rak pengetahuan dan pengalaman saya.
Semua itu datang tanpa diduga. Ketaksiapan saya menyambut eksotika Bandung seolah petir yang menyambar tanpa assalamualaikum terlebih dahulu.
Efek paling lari dari pengalaman baca buku ini adalah ketika saya telah merampungkan halaman akhir. Sepulang kerja saya buru-buru meminta Yoan untuk melakukan terapi.
Tenang... saya tidak sakit atau gila.
Saya minta Yoan untuk menerapi listrik. Ini juga satu bukti jalin benang pengalaman. Dulu, sungguh mati-matian saya menolak untuk diterapi listrik oleh teman serumah saya itu. Tapi kini ia heran bukan kepalang dengan perubahan saya hari itu.
"Serius? Kamu nggak sakit kan?" kata Yoan tidak percaya.
"Nggak," tegas saya, "Saya benar-benar butuh disetrum sekarang!"
...karena saya baru saja disambar listrik Elektra, kata saya dalam hati. Sekaligus menikmati segala kait-jejalin perjalanan hidup ini.
Salam,
Fatih.
0 komentar:
Posting Komentar