Jumat, 01 Februari 2013 - 0 komentar

Selamat Tinggal, Ngarep.

Ngarep dan bahayanya, sebenarnya sudah jauh-jauh hari saya pelajari lewat mutiara Al-Hikam, kitab tasawuf karangan Ibnu Athoillah. Namun saat itu karena saya membatas-batasi ngarep sebatas soal-soal ibadah saja, saya jadi abai, bahwasanya ngarep adalah mental kroco menghadapi kejutan kehidupan.

Kemudian lewat proses demi proses menulis yang saya lakukan, tiba-tiba dalam suatu cerpen, saya menulis;

Berharap adalah tunas-tunas kekecewaan.

Entah siapa yang membisiki, saya hanya merasa bahwa setiap yang saya tulis adalah hasil kontemplasi terhadap hal-hal yang saya rasa, lihat, dengar, dan baui. Bisa jadi, saat menuliskan kalimat itu, saya sedang dihantam kekecewaan dari ngarep yang bikin kepala ringsek.

Karena ringsek, membuat kepala saya payah menerima jawaban serta kemungkinan yang hidup tawarkan. Di tempurung saya, hanya berisi tentang kekecewaan, keputusasaan, kegeraman, caci-maki, dan tak jarang juga depresi total. 

Ternyata, peristiwa ngarep itu hanya boleh terjadi pada anak-anak SD. Mereka selalu berharap ada hadiah di tiap ulang tahunnya. Dan ketika tak terjadi sesuai harapan, mereka pantas kecewa. Dan, hei... saya bukan lagi anak SD! Maka haram total buat saya untuk ngarep.

Ngarep terhadap apa pun!


Ketika renik-renik ngarep mulai berkembang di dada, maka kapan lagi saya belajar tentang keikhlasan. Padahal inilah ilmu luhur yang tak bisa didapatkan meski harus ditempuh lewat 100 SKS atau lebih. Ikhlas dalam hal apa pun, bakal menunjukkan kedewasaan kita dalam berbuat. Malah, sering pula hal-hal ajaib datang tanpa diharapkan.


Hello, God isn't ever sleepy. Jadi, tanpa ngarep sekali pun, Ia sudah tahu apa yang saya benar-benar inginkan. Dan hukum alamnya begini, Tuhan selalu memberikan yang terbaik buat hamba-Nya. Celakanya, manusia-manusia jaman sekarang sudah menggarisbawahi apa-apa yang baik buatnya. Ini pelanggaran berat. Karena telah menembus garis pembatas ranah Tuhan. Ingat seperti saat memancing. Saya berharap umpan-umpan yang saya kait di mata kail saya bakal disambar oleh ikan-ikan. Tapi ikan-ikan itu entitas yang digerakkan oleh suatu kekuatan. Jadilah dibutuhkan intervensi sang Maha pada ranah apa pun.

Sekarang, esok, dan seterusnya, saya belajar tak lagi ngarep. Karena ketika telah jatuh dalam posisi brengsek ini, maka akan sangat sulit untuk melepasnya. 

Joo Chicarito, kawan sependakian di kawah Ijen, mengatakan bahwa mau tak mau saya harus berani melepas topeng itu.

"Risikonya, mungkin kauterlupakan. Tapi percayalah, ini yang akan memperbaiki kualitas hidupmu." katanya sambil menanti matahari terbit.

Jujur, sudah terlalu jauh saya kecewa. Terlalu dalam tenggelam. Dan you know what... semua itu akibat ngarep. Saya ulangi; N-G-A-R-E-P!

Selain dari Joo, saya juga banyak membaca artikel-artikel romansa. Tulisan-tulisan itu menohok tenggorokan hingga saya kesulitan bernapas. Tanpa saya sadari, jurang ngarep nan riskan ini telah terlalu lama saya daki.

Dan seharusnya saya sadar, dalam catatan sejarah keLELAKIan, Steve Jobs, Soekarno, Ahmad Dhani, dan LAKI lain yang belum tersebutkan, tak pernah ngarep dalam hidupnya. 

Bahkan, lelaki terLAKI sepanjang jaman, Muhammad bin Abdullah saja tak ngarep saat Aisyah binti Abu Bakar berlari darinya kali pertama berjumpa.

Karena saya LAKI, maka tak sepantasnyalah saya ngarep. 

So... stay fucking away from me, Ngarep!


Salam,
Fatih.

0 komentar:

Posting Komentar