![]() |
selesai baca Feb 13 |
Khatam. Seharusnya ini dirayakan seperti saat kali pertama saya membaca habis kitab suci. Ada nasi tumpeng, ayam ingkung, dan jajanan pasar. Karena untuk membaca empat serial yang ditulis Dee dalam jangka waktu lebih dari dua belas tahun itu, baru terlaksana kini. Betapa telatnya saya.
Tapi pernyataan itu buru-buru ludes ketika membaca halaman terakhir seri Supernova keempat ini.
Di situ, Dee menuliskan bahwa ia adalah yang termasuk percaya bahwasanya ada sinkronisitas yang membuat segala hal terjadi pada saat yang paling tepat. Dan saya pun berpikir sedemikian. Tentunya ada alasan mengapa semesta baru memperkenankan saya melahap empat Supernova di usia dua puluh satu.
Iya. Ada kait-jejalin yang tak dapat saya ingkari.
Sebenarnya, saya telah rampung membaca KPBJ, serial pertama, sekitar enam bulan yang lalu. Tapi, entah mengapa saat itu, saya sama sekali tak tertarik melanjutkan petualangan Ruben dan Dhimas. Meski pada saat itu, saya angkat topi untuk novel pertama Dee, tapi pikiran dan dompet saya enggan bergerak untuk beralih ke cerita selanjutnya.
Inilah jawabannya.
Semesta men-sinkronisasi-kan cerita itu pada masa yang sempurna, tepat ketika saya membutuhkannya.
Membaca serial kedua; Akar, saat itu saya sedang terbelit beragam kesulitan finansial. Tepatnya setelah kehilangan dua laptop dalam waktu kurang dari sebulan. Selama di rumah, saya benar-benar terpukul dengan keadaan itu. Hingga menjelang hari keberangkatan saya kembali ke Tanjungpinang, pikiran saya tentang problem itu belum benar-benar beres.
Maka, saya pun pergi ke toko buku. Sekadar mencari bacaan yang akan menemani dua belas jam perjalanan Banyuwangi - Tanjungpinang. Sekadar menemani.
Ketika melihat buku-buku yang berjajar rapi di Toga Mas Banyuwangi, perhatian saya langsung terpusat pada simbol berwarna merah pada kaver depan Akar. Rasanya, semacam ada energi misterius yang meyakinkan tangan saya untuk meraihnya. Simbol yang kemudian saya tahu sebagai The Flower of Life itu, ternyata memang punya daya magis aktraktif. Untuk merasakannya, diperlukan medan gelombang yang sama. Setelah membaca ikhtisar di sampul belakang, dompet saya pun merestui bahwa Akar akan menjadi teman sepanjang perjalanan.
Tidak salah. Synchronicity works.
Pencarian menjadi kata kunci yang melanjutkan perjalanan saya mengenal Supernova hingga keempat serinya.
Diva, Bodhi, Elektra, hingga Zarah, adalah representasi dari pencarian saya tentang jawaban yang belum saya dapatkan. Bahkan, untuk menamai ini pencarian atau sekadar peng-kepo-an, saya pun tak menjamin kebenarannya. Yang saya tahu, saya hanya dibawa oleh keingintahuan saya memahami segala macam misteri kehidupan. Bukankah hidup itu memang sebuah misteri?
Terlebih tentang Zarah Amala, tokoh sentral dalam seri ini. Kehidupan kecilnya yang inkonvensional bersama Firas, ayahnya, membuatnya memahami banyak jawaban dari tanda tanya besar kehidupan.
Tanda tanya yang, mungkin, belum sempat manusia umumnya pertanyakan.
Terlebih tentang Zarah Amala, tokoh sentral dalam seri ini. Kehidupan kecilnya yang inkonvensional bersama Firas, ayahnya, membuatnya memahami banyak jawaban dari tanda tanya besar kehidupan.
Tanda tanya yang, mungkin, belum sempat manusia umumnya pertanyakan.
Dalam kisahnya, Zarah menjadi jawaban atas sinkronisitas yang selalu bekerja. Disadari atau tidak. Perjalanannya dari Bukit Luhur, Tanjung Puting, hingga whole the world, adalah jodoh dari pertanyaan; benarkah hidup ini hanya sebuah kebetulan?
Namun, di tengah badai kekaguman saya kepada Zarah, tiba-tiba datang gempa yang mengejutkan. Sosok Zarah yang anomali itu, mendadak bisa pasrah "disobek" oleh Storm, bule London yang baru dikenalnya di sebuah pesta. Seperti tertusuk jarum ketika asik menjahit. Saya tak habis pikir, bagaimana mungkin saput perawan itu diberikan lewat kesukarelaan, yang pada akhirnya malah melukainya.
Kenapa, Zarah?
Hanya Dewi Lestari yang tahu.
Terlepas dari "kebodohan" atau ketakberdayaan Zarah, saya tetap mengaguminya sebagai perempuan anomali. Pilihan dan kaca mata hidupnya menunjukkan bahwa seluruh penduduk bumi ini hanyalah partikel. Seperti sifat asalnya, ia selalu terkait satu sama lain. Tergantung, seberapa kuat kesalingterkaitan itu bisa menarik satu sama lain.
Sesungguhnya hidup adalah rencana semesta. Bila memang sebagian dari rencana itu tak dapat diterima nalar, maka penerimaan adalah satu-satunya alat yang menuntun pada konsep indah-pada-waktunya.
Terima kasih, Dee.
Terima kasih, Ruben, Dhimas, dan Diva.
Terima kasih, Bodhi.
Terima kasih, Zarah.
Terima kasih, kamu; yang saya yakini sebagai sinkronisitas hidup ini.
Karena, nyatanya, kita juga partikel yang (mencoba) saling terhubung.
Salam,
Fatih.
Namun, di tengah badai kekaguman saya kepada Zarah, tiba-tiba datang gempa yang mengejutkan. Sosok Zarah yang anomali itu, mendadak bisa pasrah "disobek" oleh Storm, bule London yang baru dikenalnya di sebuah pesta. Seperti tertusuk jarum ketika asik menjahit. Saya tak habis pikir, bagaimana mungkin saput perawan itu diberikan lewat kesukarelaan, yang pada akhirnya malah melukainya.
Kenapa, Zarah?
Hanya Dewi Lestari yang tahu.
Terlepas dari "kebodohan" atau ketakberdayaan Zarah, saya tetap mengaguminya sebagai perempuan anomali. Pilihan dan kaca mata hidupnya menunjukkan bahwa seluruh penduduk bumi ini hanyalah partikel. Seperti sifat asalnya, ia selalu terkait satu sama lain. Tergantung, seberapa kuat kesalingterkaitan itu bisa menarik satu sama lain.
Sesungguhnya hidup adalah rencana semesta. Bila memang sebagian dari rencana itu tak dapat diterima nalar, maka penerimaan adalah satu-satunya alat yang menuntun pada konsep indah-pada-waktunya.
Terima kasih, Dee.
Terima kasih, Ruben, Dhimas, dan Diva.
Terima kasih, Bodhi.
Terima kasih, Zarah.
Terima kasih, kamu; yang saya yakini sebagai sinkronisitas hidup ini.
Karena, nyatanya, kita juga partikel yang (mencoba) saling terhubung.
Salam,
Fatih.
0 komentar:
Posting Komentar