Rabu, 30 Januari 2013 - 0 komentar

(Kembali ke) Akar

selesai baca Jan 2013
Seperti biasa yang pertama, saya selalu telat membaca karya-karya Dee, yang sebenarnya selalu saya suka tiap kali membacanya. Tapi lebih baik telat daripada tidak sama sekali, bukan. Maka, ketika di Banyuwangi, saya membeli Supernova ke-2 ini sebagai teman seperjalanan sepanjang rumah sampai rantauan.

Seperti biasa yang kedua, saya selalu terkagum dengan tiap karya Dee. Caranya menjabarkan nilai-nilai universala sangat logis dan mampu diterima nalar. Tidak njlimet. Buku-buku yang berbicara hal seperti inilah yang kerap mengundang saya untuk menjemputnya di toko buku. 

Seperti biasa yang ketiga, saya selalu menahan napas ketika membaca cerita tentang perjalanan menyusuri pencarian. Pencarian entitas terhadap hidupnya. Setelah sebelumnya membaca Geography of Bliss milik Eric Weiner, kini pecarian yang Dee tulis lebih dekat. Bisa jadi disebabkan karena ia berasal dari Indonesia. Jadi, semangat yang ia tuliskan masih mudah dicerna oleh manusia yang sebangsa. 

Selanjutnya tak ada seperti yang biasa. Karena kini sesuatu yang baru.

Baru yang pertama, tak pernah sebelumnya saya membaca buku dengan menahan-nahan seperti ketika membaca Akar. Saya harus sibuk mengelola nafsu saya untuk mengkhatamkannya. Terlebih saat perjalanan Surabaya - Jakarta - Batam - Tanjungpinang. Saya takut, bila saja buku ini habis saya lahap, sedangkan saya belum sampai pada tujuan, apa lagi yang akan saya baca sepanjang perjalanan. Saya tak mau seperti saat-saat di Malabar. Ketika saya terpaksa membaca jengah sepanjang tujuh belas jam.

Baru yang kedua, saya tertarik sekali dengan manusia bernama Bodhi dalam buku ini. Ia seperti seorang anak kecil yang punya nafsu keingintahuan yang membahana-badai. Tapi dia tak menuntaskan keingintahuannya lewat bangku sekolah. Caranya menempuh pencarian ini dengan berjalan dan jalan-jalan inilah yang membuatku angkat gelas. 

Betapa tidak. Pernah sesekali aku pun berbuat seperti apa yang Bodhi lakukan. Menyusuri Bandara Hang Nadim - Pelabuhan Punggur adalah satu di antaranya yang tak mungkin say lupakan. Demi apa pun. Kau boleh menilainya sebagai sebuah kebodohan atau apa pun. Saat itu, di tas saya ada duit satu koma lima juta, tapi saya memilih untuk berjalan kaki kurang-lebih 20 kilo! 

Namun, itu bukan perjalanan biasa. Ada kesan spiritual yang saya dapat selama melakukan perjalanan. Kalau tidak begitu, mana mungkin saya mengerti tentang pengabdian tulus seorang penjaga pura yang rela memunguti kamboja sepanjang jalan Hang Nadim. Terkadang, berjalan mengajarkan kita tentang kehidupan. Tapi sedikit orang yang sadar dan punya nyali besar menempuhnya.

Gelas saya semakin tinggi buat Bodhi karena ia amat memahami, bahwasanya segala yang terjadi di dunia ini tidak mungkin hanya sebatas alasan; kebetulan. Hei, dunia ini bukan tempat segala macam kebetulan yang berserak di jalan, lantas kaumenyandungnya. Dan, woila kebetulan datang.

BIG NO. Kebetulan itu sejatinya adalah ranjau yang berserakan di tengah jalan. Kita sendiri yang menaburnya lewat apa yang telah kita perbuat di hari-hari lampau dan saat ini. Sebab lahir lewat akibat. Dan ini hukum alam yang tak terbantahkan. 

Seperti saat Kell menginjak ranjau selama di Kamboja. Itu karena Kell berani menabur impian untuk ditato oleh seorang Bodhi. Setelah sekian puluh tahun menanti dan menunda, ia merasa butuh sebuah saat dimana dirinya bisa menaklukkan egonya. Dan semesta (kau boleh membaca; Tuhan) menyiapkan ranjau buat Kell.

Setinggi bangau terbang, ia akan kembali ke tempat dimana ia dilahirkan. Setinggi pohon menjulang, ia tak pernah lupa dengan akar. Dan semakin cepat takdir dikejar, semakin lekas pula kita sampai atau kembali ke akar. Dan itulah sejatinya destinasi hidup.

Salam, 
Fatih.

NB: Baru yang terakhir. Saya rasa seorang Dewi Lestari punya banyak kerjaan selain bernyanyi dan menulis. Bisa jadi ia juga seorang pembuat roti dan tatooist. Deskripsinya terhadap profesi yang acapkali dilupakan orang ini, membuatnya terlihat juga (pernah) menekuninya. Tapi, terima kasih, karena juga telah menjadi penulis, ibu suri. 

0 komentar:

Posting Komentar