selesai baca Jan 2013 |
Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya. Bahwasanya tidak ada kebetulan yang terjadi di dunia ini. Novel Putu Wijaya ini telah saya cari sejak 2010, dan baru bisa saya baca di awal 2013. Mengapa bisa lama sedemikian?
Pada mulanya, saya biasa-biasa saja saat mendapati novel pemenang Sayembara Roman DKJ 1975 ini. Namun ketika sedikit melongok ke hari yang sudah-sudah, ternyata ada benang merah, yang jadi alasan semesta mengirimnya ke ruang baca saya.
Lebih kurang sebulan lalu, saya baru saja menempuh perjalanan Bandung - Malang selama 17 jam menggunakan KA. Malabar. Tersebab beberapa kejadian menarik sepanjang perjalanan itu, saya pula menulis cerpen berjudul Malabar. Dalam proses menulis cerpen tersebut, pikiran saya terus berputar-putar memanggil kembali runut peristiwa serta detil yang ada selama di dalam perut Malabar. Selama itu pula kepala saya mabuk oleh segala yang berbau kereta. Dan pada akhirnya, ketika cerpen itu rampung, barulah saya mendapati novel yang diterbitkan oleh dua penerbit itu di tumpukan buku usang perpustakaan almarhum guru saya.
Pikiran saya yang telah penuh dengan segala hal tentang kereta, juga memanggil sesuatu yang berkaitan dengan kereta. Maka semesta pun mendatangkan Stasiun itu. Tiba-tiba begitu saja.
Ini bukti bahwasanya ada banyak ranjau kejutan yang menanti di hadapan.
Tak perlu lama untuk membaca novel ini. Sekiranya hanya tiga hari saja. Namun, untuk memahami Putu Wijaya, lengkap bersama teror mental yang menjadi pijakan kepengarangannya, saya perlu waktu lebih lama.
Dalam kata pengantar, Radar Panca Dahana mengatakan bahwa, pembaca tak perlu gusar bila tak menemukan plot yang mengalir, karakter yang detil, dan alur yang rapi. Ini Putu Wijaya, tambah Radar, orang yang telah menemukan pijakan kreatiftasnya di usia tiga puluhan. Jadi, yang dia lakukan bukan serta merta menghibur, tapi juga meneror.
Memang, pada awalnya saya sempat mumet juga membaca Stasiun. Tapi ketika mendapati novel ini ditulis dengan kecerdasan dan keseimbangan desa-kala-patra khas orang Bali, saya tak merungsingkannya. Karena ada banyak dialog-dialog yang menghukum saya selama membaca.
"Benarkah stasiun ini tempat pemberhentian? Atau malah jadi tempat permulaan?"
Pada novelnya, Putu bercerita tenang seorang tua yang kelimpungan mencari dirinya. Sehingga ketika menaiki kereta, ia tak mengerti, apakah tujuannya untuk berangkat atau pulang? Jalin-kelindan itu makin diperparah dengan kejadian yang dialaminya selama perjalanan. Mulai dari diperkosa seorang anak muda, melihat gelandangan gantung diri, sampai pada kenyataan yang paling sulit; melihat dirinya mati.
Ada benarnya. Selama perjalanan Bandung - Malang, stasiun, baik kecil atau besar, selalu menghidangkan kejadian yang tak biasa, yang tak mungkin didapati di sarana transportasi lainnya. Terlebih selama dalam kereta. Pikiran saya seolah diseret menembus dinding dingin gerbong. Saya bisa melihat kembali bagaimana saya dibesarkan, bisa mendengar nyanyian pengantar tidur, dan mencium bagaimana bebau dosa yang pernah saya lakukan.
Kereta memang representasi dari egaliterisme, tinimbang pesawat.
jig-jes jig-jes jig-jes
Saya sudah berhenti di stasiun saya selanjutnya. Stasiun yang akan memanggil kereta dan mengantarkan saya pada hal-hal edan yang akan saya dapati selama perjalanan. Betapa.
Pertanyaan besarnya, dalam stasiun kehidupan ini, sedang berangkatkah saya? Atau pulangkah?
Salam,
Fatih.
NB: Sebelum membaca novel Putu, alangkah baiknya bila kauberdoa terlebih dahulu. Semoga semesta memahamkanmu.
0 komentar:
Posting Komentar