![]() |
selesai baca Des 2012 |
Buku yang saya baca ini hasil pinjaman dari perpustakaan pribadi Tusiran Suseno, penulis sepuluh ribu pantun itu. Di rumahnya memang tertata ribuan judul buku yang jarang disentuh. Karena memang, setelah kepergiannya, tak ada lagi yang menjamah santapan batin itu. Maka, sebagai seorang yang kerap berkunjung ke rumahnya, saya meminjam satu judul ini pada Ibu Haz, istri almarhum.
Awalnya, saya membaca hanya tertarik karena nama besar penulisnya. Putu Wijaya. Siapa yang tidak kenal dengan sastrawan moncer asal Bali itu. Dan kebetulan juga novel terbitan tahun 1977 ini juga berlatarkan adat-resam budaya Bali. Seperti tulisan di kaver belakang, novel ini adalah novel konvensional seorang Putu, jadi jangan terlalu banyak mengharapkan adanya "ledakan bom" seperti pada Telegram dan Stasiun yang melambungkan Putu sebagai penulis kawakan negeri ini.
Tapi, saat membaca novel setebal 234 halaman ini, saya mendapatkan bom waktu yang bisa meledak kapan pun tanpa pernah diminta. Ibarat ranjau yang dilengkapi alat kontrol waktu, saat menginjaknya tidak langsung meledak. Tapi saat kita lengah sedikit saja, bom itu meledak dan meluluhlantakkan dalam waktu seketika.
Bercerita tentang ketabahan seorang adik beradik, Sunatha dan Sunithi. Saya lebih gemar bercerita tentang dua orang ini. Meski di dalamnya banyak juga bom-bom pada karakter seperti Subali, yang senewen akibat mendapatkan horison baru kehidupan dari David, bule yang kebetulan tinggal sementara waktu di desa. Juga ada Utari, istri Sunatha yang tak mendapatkan malam pertama usai menikah dengan Sunatha. Yang kemudian membuatnya kembali kepincut pada Ngurah, pemuda yang pernah mencintainya. Maka, ketika Utari sendiri yang menydorkan badannya sebagai ikan asin, Ngurah sebagai kucing pasar yang kelaparan langsung melahapnya. Meski ada bebisik di hatinya; ini melanggar adat. Tapi itulah manusia dan segala keterbatasannya untuk mendengar kata hati.
Kembali pada Sunatha-Sunithi. Sunatha, seorang guru muda yang harus meninggalkan Utari, istrinya karena tugas sudah memanggilnya untuk mengajar di Kupang. Mau tak mau, mesti berangkat. Risikonya besar sekali. Oleh Utari yang tak digaulinya di malam pertama, ia disangka wangdu alias impoten. Tapi Sunatha punya alasan moral mengenai pilihannya itu.
Lain lagi dengan Sunithi. Di usianya yang terbilang muda, ia harus menghidupi keluarganya. Sementara kakaknya berjuang di Kupang, ia harus merawat sawah yang ditinggal Subali yang mulai gila akibat mendengar omongan-omongan David tentang kelemahan hidup bergotong royong yang melemahkan kemauan individu untuk maju. Sunithi, mesti pontang-panting melakukan tugas sebagai kepala keluarga karena ibunya sudah terbaring akibat sakit keras yang dideritanya setelah keberangkatan Sunatha ke Kupang.
Memang, cerita di novel ini banyak menyiratkan pahitnya kehidupan dalam kungkungan adat. Dan Putu juga mengomentari lewat tokoh kepala sekolah tempat Sunatha mengajar. Bahwasanya bukan adat yang mesti dipersalahkan, tapi orang-orang yang memangkunya yang tak bijaksana, tulis Putu.
Bom-bom waktu itu telah meledak di dada saya setelah tamat membaca. Saya banyak dikejutkan dengan kenyataan hidup yang pada nyatanya sering tak selaras dengan keinginan. Tapi Putu membungkusnya bukan dengan cara melankolik, tapi dengan sebuah syukur yang indah. Persis seperti apa yang saya yakini, bahwa sikap yang diambil itulah yang menentukan. Tak peduli apa pun keadaan sekarang. Pola pikir, sikap, kedewasaan, dan kematangan, itulah unsur yang membuat kehidupan menjadi lebih dinamis.
Jika tiba-tiba malam datang, rasanya hanya satu yang mesti dipersiapkan. Keyakinan. Selalu yakin bahwasanya, kegelapan pun bisa mendatangkan keterang-benderangan. Caranya?
Tugas kita untuk mencarinya.
Salam,
Fatih.
0 komentar:
Posting Komentar