Rabu, 21 November 2012 - 0 komentar

Penawar Rindu

dia hanya ilustrasi


Sulit untuk menyangkal fakta tentang orang Melayu seperti yang disampaikan Andrea Hirata, si penulis Laskar Pelangi. Entah bagaimana kalimat pastinya, aku setengah ingat. Tapi lebih-kurangnya begini; orang Melayu itu pengeluh yang baik. Aku terkekeh sendiri. Sampai tak malu tertawa sendiri di kedai kopi, dengan gigi yang menyala-nyala serupa tembaga. Andrea sudah menohokku juga, karena aku seorang Melayu tulen. Sama sepertinya. Hanya tempatnya saja yang membedakan, dia di Belitong, sedangkan aku di Tanjungpinang, sebuah kota kecil yang untuk mengelilinginya rokokmu satu bungkus takkan habis.
Pengeluh yang baik. Sepertinya aku juga seorang pengeluh. Banyak sekali yang kukeluhkan setiap harinya. Bahkan aku menuliskannya di buku yang kuberi judul Daftar Keluhan Sehari-hari. Tolong, jangan antar draft buku ini ke penerbit, kalau sampai diterbitkan, Mamak adalah orang pertama yang akan membabitku dengan terompah tuanya. Karena dialah yang selalu kukeluhkan setiap hari.
Sebenarnya, bisa saja tokoh Emak yang kukeluhkan itu kuganti. 
Sabtu kemarin, ada seorang pengeluh yang tidak hanya baik, tapi juga hebat. Dan karena kehebatannya, aku juga menuliskan namanya di buku itu. Dia kandidat terkuat yang akan menggantikan Emak.
Aku memanggilnya San. Selama hampir dua belas tahun berteman, sejak SD sampai lulus SMA, aku tak pernah tahu nama lengkapnya. Kalau pun ditanya, ia hanya memberikan pilihan, dan hampir semua pilihan itu sebenarnya tak bernah bisa dipilih.
“Terserah mana yang kausuka, Sersan atau Kalasan,” untuk yang terakhir, seperti bumbu ayam bakar saja. San adalah teman baikku selama ini. Mungkin baginya, aku bukan teman terbaiknya, karena baru di usia tiga belas tahun pertemanan, baru kali ini aku menemukan bakat alamiahnya; sebagai pengeluh yang baik dan hebat.
Setiap Sabtu malam, selalu menjadi ombak bagi kami, dua pemuda yang belum juga dikaruniai kekasih. Buat kami berdua, kekasih digolongkan dalam kategori karunia Tuhan. Alih-alih untuk mengejarnya, kami lebih gemar menunggu kedatangannya dari negeri jauh, atau dari balik pelangi, dan kata San, bisa jadi ia turun dari langit dengan gaun putih yang melambai-lambai dan meruapkan aroma wangi supermaket dari dua belah ketek di kanan-kirinya.
Namun, semua kesepakatan teoretik itu dilanggar oleh San. Aku berang. Karena di tengah penantian kami akan sosok wanita dari langit yang pastinya tak ada bulu keteknya itu, San sudah menemukan seorang perempuan. Menurutnya, perempuan itu penjelmaan wanita dari langit. Dan San dengan bangga menceritakan semua tentang perempuan itu, juga mengeluhkannya.
Paradoksal sekali kau, San!
Hal pertama yang San ceritakan adalah kecantikan perempuan yang tinggal di Pulau Penghujan yang tak pernah hujan. Menurut San, kecantikannya hanya bisa ditandingi oleh para wanita kasir di swalayan yang menjamur di Tanjungpinang. Bau badannya lebih segar daripada porselen dengan aroma karbol sekali pun. Cara berbicaranya seperti Bule, seperti mengunyah permen karet, sehingga menimbulkan suara serak-serak basah. Untuk deskripsi terakhir itu aku selalu berpikir bahwa San sakit jiwa. Bagaimana mungkin orang dengan mengunyah permen karet justru menjadi serak basah. Yang betul, menurutku, serak karena ia berbicara dengan berteriak, dan basah karena sebelum bicara ia masukkan air lewat selang ke kerongkongannyah… lho, kok jadi ada h-nya beginih. Basahhh…
“Tapi ada satu hal yang tak kusuka dari kisah percintaan ini,” kata San, “bapaknya tak pernah setuju dengan hubungan kami berdua.”
Aku memberinya solusi untuk menempuh jalan-belakang, atau backstreet seperti yang kubaca dari majalah-majalah wanita remaja.
“Betul juga saranmu,” San menyeringai, “akan kulakukan.” Ia berkata-kata dengan sorot mata seperti lampu jauh pada mobil, berbinar-binar.
Setelah pertemuan terakhir itu, seminggu lamanya aku tak menjumpai San. Konon dari kabar angin, kudapati kisah bahwa San menjadi setengah gila setelah dari Pulau Penghujan. 
Perempuan itu? Secepat kilat aku menyimpulkan penyebabnya.
Kautahu, sebagai teman yang baik aku datang ke rumah San, bagaimana pun hanya San-lah satu-satunya orang yang bisa menggantikan posisi mulia Mamak sebagai top number one di daftar pengeluh dalam bukuku. Cuma dia yang bunya bakat alami menyerupai Mamak.
Sesampainya di rumah San, orang tuanya menyalamiku penuh harap. Mereka tahu bahwa aku adalah teman terdekat San, yang pastinya, kata mereka, aku bisa mengusir ular-ular dalam kepala anaknya. Meski sudah kujelaskan aku bukanlah seorang pawang, mereka tetap memaksa.
“Jemarimu lentik. Lihai untuk menjerat kepala ular di kepala San,” kata bapaknya membujukku. 
Kupandangi jemariku, mencari titik lentik seperti yang disebutkan. Sial. Aku merutuk dalam hati. Orang tua memang tak pernah punya hati untuk memuji. Jemari putih dan licin karena bekerja sebagai pengupas bawang bombai di sebuah rumah makan dianggapnya lentik, dan yang paling sinting, mampu menjerat ular.
Tapi, saat teringat posisi San untuk bukuku, aku mengupayakan untuk menjadi pawang yang cekatan dengan jemari akrobatik, melompat-lompat, menari-nari, menghindar dari patokan ular. 
Di kamarnya, kulihat San duduk sambil mendekap lututnya. Tiap beberapa detik sekali tertawa sendiri. Kalau begini dampak bermain cinta, aku menjadi ragu untuk menunggu perempuan dari yang turun dari langit itu.
Sorot matanya tiba-tiba berubah saat melihatku, seolah berkata, “ke sinilah, kawan baikku. Aku ingin bercerita.”
Dan aku menjawab juga dengan delikan mata yang juga bicara, “aku datang, kawan baikku. Aku rindu keluh-keluhanmu.”
Kau harus tahu, dialog yang dituturkan lewat mata memang tidak senatural saat terlontar lewat mulut. Jadi jangan tertawa kalau serupa telenovela!
Dengan tampang yang buluk, rambut acak-acakan, dan mata yang berbinar-binar San mulai bercerita.
Ia bercerita telah melakukan saranku untuk backstreet. Maka sesuai dengan rencananya, ia sangat hapal kalau Pak Mun, bapak si perempuan yang keteknya lebih wangi dari karbol, itu selalu sholat magrib di surau yang jaraknya hanya sepuluh meter dari rumahnya. San merasa itulah waktu terbaik untuk berjumpa dengan kekasih.
“Kuketuk jendela kamarnya,” San bercerita, “kemudian ia membukakan dan aku masuk lewat situ.”
Aku diam menyimak baik-baik kisah heroik kawanku satu ini. 
“Dia cantik sekali, boi,” kata San, “sampai-sampai waktu terasa sangat cepat. Aku lupa kalau waktu sholat maghrib telah lewat. Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar. Digedor tepatnya.”
Aku makin tak sabar menunggu kelanjutan kisahnya.
“Ternyata bapaknya, boi, dia berteriak dari luar, ‘Min… sedang apa kau dalam?’ aku jadi panik. Pacarku juga. Dia hanya menjawab, ‘tak ada apa-apa, Pak.” Tapi bapaknya di luar tak percaya, ‘buka!’ Pacarku memintaku untuk cepat lari. Tapi sial, boi.”
“Kenapa, San?”
“Kakiku terantuk kaki ranjang, maka aku mengumpat sekuat-kuatnya ‘aduuhhh!!!’ Tentu saja bapaknya dari luar makin beringas. Pintu kamar didobrak. Di tangan kanannya ada parang berkilatan.”
Aku bergidik pada bagian satu ini. Tapi syukur, tidak ada yang terluka dari San.
“Matanya melotot ke arahku, boi,” San melanjutkan, “diacungkan parangnya. Tapi tepat sebelum lompat keluar, aku harus membawa sesuatu yang bisa kujadikan penawar rindu. Tapi karena tak ada satu pun barang yang bisa diambil, karena aku juga tak mungkin mengambil sprei yang lekat dengan aroma badannya, maka…”
Aku menelan ludah.
“… kuselipkan tangan kananku  ke celah ketek pacarku, boi. Ternyata ada rerambut tipis. Tapi harumnya ini boi… Lalu aku melompat keluar jendela dan berlari ke perahuku. Dan sejak saat itu, aku tak bisa datang lagi ke rumahnya, karena setiap malam banyak penjaganya.”
“Sabar ya, San…” aku coba menghibur duka kawan baikku itu.
“Tak apa, boi.” Muka San cerah sekali saat berkata. “Sejak saat itu aku tak pernah mencuci tangan kananku ini.” katanya sambil mengangkat tangan kanannya yang dibungkus plastik bening bekas kerupuk. Kemudian pelan, plastik itu dibuka. San mencium tangannya sendiri.
“Wangi keteknya masih menempel lho di tanganku ini. Hmm…”
Keadaan menjadi lebih parah saat San meletakkan tangan kanannya di hidungku. 
“Wangi kan, boi?”
Setelah itu aku langsung pulang. Semenjak itu aku tak berani lagi bertemu dengan San yang sampai hari ini masih membungkus tangan kanannya. Dan yang paling penting, aku jadi lebih mawas dengan rindu yang bisa-bisa mencabut kemampuan indrawiku; sejak kapan bau ketek lebih wangi dari karbol dan menempel di tangan selama seminggu. Aku mawas dan tak lagi menunggu, apalagi merindu, perempuan yang datang dari langit lagi.

0 komentar:

Posting Komentar