Rabu, 21 November 2012 - 0 komentar

Nyatanya, Aku Tak Tahu

Ada satu hal yang paling kubenci dari dunia kepenulisan; setiap manusia yang bertungkus-lumus dengan kata, adalah seorang yang selalu dikelilingi wanita. 
Paham ini banyak diikuti orang. Bahkan dipercayai. Yang lebih buruk, menjadi aksioma yang tak mungkin disangkal ketidakbenarannya. Faktanya, memang tidak benar. Setidaknya begitulah kesimpulanku tentang ini. Bagaimana tidak, apa mentang-mentang karena WS. Rendra bisa memiliki banyak istri, para penulis lain pun mesti serupa si Burung Merak? Tidak harus, bukan? Ada banyak pilihan teladan yang bisa ditiru. Mustofa Bisri dengan kesalihannya, Andrea Hirata yang menjungjung cinta sucinya pada A Ling, Seno Gumira Ajidarma yang memilih menikah di usia 20, dan penulis lainnya yang bukan hanya hebat bermain kata tapi juga pengampu kesetiaan pada satu wanita. 
“Kamu kan seorang penulis, seharusnya banyak cewek dong? Kan bisa ngerangkai kalimat gombal yang sekali dilontarkan bikin cewek klepek-klepek.” Tuduh seseorang padaku. 
Aku hanya bertanya dalam hati, apa hubungan antara klepek-klepek dengan kata? Apa mesti kalimat gombal itu lantas menjadikan kita sebagai orang yang mudah memikat hati perempuan lain? Aku tetap tidak sepakat. Bagaimana pun. 
“Aku saja yang nggak sepandai kamu menulis cerita, bisa punya cewek semudah ganti baju. Mana yang cocok kupertahankan, mana yang usang, tinggal buang.” Ujar si penuduh.
Itu kamu dan, pastinya, bukan aku!
Harus kuakui, memang dalam rentang lebih dari dua tahun, tak ada wanita yang dekat denganku, catatannya dengan status pacar. Kalaupun dekat, ya hanya sebatas dekat dan komunikasi secukupnya jika saling memerlukan. Toh antara pacar dan kepenulisan aku tak pernah membuat semacam kredo guna mengikatnya.
“Jujur ya,” pinta si penuduh itu, “kau pasti juga pingin punya pacar kan?”
Ya. Sangat Iya. Siapa yang tak ingin diperhatikan, dipedulikan, ketika sakit ada yang memanjakan, tapi apa ya mesti dipaksa. Kurasa untuk menjalin sebuah hubungan dengan lawan jenis, itu semua haruslah natural. Bukan didasari pretensi apa pun. Ketika saling menyayangi, semua hal yang disebutkan di atas tadi akan dijalani secara otomatis. Tak perlu dipusingkan bagaimana caranya.
“Atau…” dia mulai berpikir yang tidak-tidak, “kamu….”
Sial! Tidak mungkin karena aku tak punya pacar, lantas seenak udelmu kau menuduhku gay! Ini benar-benar tak adil. Berapa banyak laki-laki di dunia ini yang tak punya pacar, bahkan sudah berumur lanjut pun tak kunjung jua meminang istri. Itu bukan ukuran untuk melihat orientasi seksual seseorang, bung. Lantas untuk membuktikannya aku mesti bagaimana? Pakai pacarmu? Kan juga tak masuk akal.
“Oke,” dia mulai sok tahu. Ini amat menyebalkan. “Aku tahu kau masih terbelenggu pada cinta lama yang sulit kaulupakan. Tapi tak pernah ada salahnya jika kamu membuka hati. Sedikit saja. Aku yakin, banyak cewek di Tanjungpinang ini yang bisa menggantikannya.”
Kesoktahuanmu mengocok perutku hingga mual!
“Kau harus aktif mencari. Kulihat kau terlalu menutup diri. Oke…” kesoktahuannya berkuadrat, “selain tampang, kira-kira apa yang membuatmu, sampai detik ini, tak juga punya pacar? Dompet? Motor? Malu? Atau faktor lain?”
Mencari? Apa konsep mencari menurutmu itu seperti yang kaubilang, serupa dengan membeli kaus di pasar? Mana yang aku suka, tinggal tunjuk, bayar dan bawa pulang. Tidak, bukan. Tak mungkin juga bila tiba-tiba ada seorang perempuan cantik melintas di hadapanku, kemudian aku suka, dan mengejarnya. Lalu, dengan segenap ketololan, kuucapkan, “maukah jadi pacarku?” Maka jawabannya, selain olok-olok, juga sebuah tamparan di pipi. Dan ini terlalu naif untuk dilakukan.
“Baiklah… sekarang jelaskan kriteria perempuan idamanmu? Kau bisa menyebutkannya dari segi fisis.” Si penuduh ini seperti seorang polisi yang amat girang mengintrogasi tahanan!
Aku suka perempuan berambut hitam, tak perlu terlalu lurus, ikal pun tak mengapa, asal jangan keriting. Tingginya sebanding denganku. Senyumnya menguatkan. Kurasa dari segi fisis, sama dengan laki-laki pada umumnya. Hanya saja aku menambahkan, “kalau diwujudkan, kautahu, setidaknya mirip Alyssa Soebandono atau Dian Sastrowardoyo.”
“Pilihan bagus. Selanjutnya dari segi kepribadiannya?”
Hhm… aku suka perempuan yang mengerti diriku seutuhnya, hingga aku tak perlu menyembunyikan apa pun itu darinya. Ia juga mesti berwawasan luas. Setidaknya ini akan membuat chemistry menjadi lebih manis. Setiap kali berbicara, semuanya selaras dan nyambung. Kalau cantik tapi hanya melulu bicara soal fashion, pulsa, gosip, dan hal-hal remeh seperti hujan yang datang pagi-pagi, itu menimbulkan ketaknyamanan dalam komunikasi. Dan aku kurang menyukai itu. 
“Rasanya tipemu biasa-biasa saja,” hei, aku tak meminta tanggapanmu! “Dan kau belum menemukannya di Tanjungpinang ini?”
Aku hanya menggeleng. 
“Hei, sebagai sahabat yang baik,” juga seorang penuduh yang tak kalah hebat, “aku hanya ingin menasihati saja. Tak mungkin perempuan itu yang datang padamu. Tiba-tiba menyatakan cinta, mengantarkan bunga, dan berlutut agar kau menjadikannya seorang kekasih. Simpelnya, seperti saat kaumemilih buku yang bagus. Apa buku itu datang sendiri ke mejamu? Kau mesti mencarinya di rak-rak toko buku, bukan? Begitulah juga pacar.”
Aku menggaruk kepala. Nasihat yang usang. Tapi tak apa, kudengarkan saja.
Kemudian dia mengutarakan harapannya, “aku hanya tak ingin kamu hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian. Apalagi ini soal hati. Jika sekali saja terluka, obatnya tak pernah ada.” 
Harapan yang bagus.
Tapi aku memercayai lirik yang ditulis Ahmad Dhani di Restoe Boemi
"Seorang bijak kan memahami, cinta bukan dicari, diraih. Cinta pun hadir sendiri."
Aku hanya percaya, di waktu, tempat, dan keadaan yang tepat, cinta itu akan datang. Dan, berpulang padaku, apakah aku tanggap pada ketepatan yang tak kutahu pasti waktu kedatangannya.
“Pertanyaan terakhir,” kau memang harus segera mengakhiri pertanyaanmu, “apa sih spesialnya mantan pacar terakhirmu, yang masih kaucintai sepenuh hati itu? Kenapa kau masih saja hidup dalam belenggunya?”
Aku berdiri. Tak menjawab pertanyaan itu. Kurasa memang tak perlu. Karena aku sudah terlalu tenggelam dalam terang sinar cinta. Ketika orang sudah berada di dalam ruangan yang terang-benderang, ia takkan lagi bercerita soal lampu yang berpendar. Bila masih, maka ia belum sepeuhnya tenggelam. 
Sambil berlalu, aku hanya bergumam dalam hati, “Nyatanya, aku tak pernah tahu.”

I don’t know how to leave you
I don’t know how you do it, 
making love out of nothing at all. (Air Supply) 

Salam,
Fatih.

0 komentar:

Posting Komentar