Senin, 19 November 2012 - 0 komentar

(Saya Tidak Punya) Dua Ibu

selesai baca Nov 2012

Buku ini masih punya Yoan. Ia membelinya di Yogyakarta beberapa bulan lalu. Melihatnya ngangkrak, mengetuk keinginan untuk menjamah dan membacanya. Apalagi setelah melihat nama penulisnya, Arswendo Atmowiloto, si penulis Senopati Pamungkas yang setebal dua ribu halaman lebih. Ini pasti buku yang juga ditulis dengan gaya akrobatiknya.
Benar saja. Dua Ibu mengguncangkan hati saat membaca kalimat demi kalimat. Pilihan katanya sederhana, tapi tak mengurangi kedalaman maknanya. Lagi-lagi Arswendo membuat hati ini banyak merenung setelah membacanya. Dalam rentang 304 halaman, saya tak pernah ngos-ngosan. Aktraktif. Kocak. Juga kontemplatif.
Buku yang pernah menyabet terbaik pertama Anugerah Yayasan Pustaka Indonesia pada 1981 ini bercerita tentang Mamid yang mempunya dua ibu,  satu orang yang melahirkannya, dan satunya lagi orang yang membesarkannya. Di mata Mamid, sang Ibu, yang tidak melahirkannya adalah sumber kekuatan utamanya. Ibu yang tinggal di Solo itu adalah wanita yang mau berkorban demi kebahagiaan anak-anaknya. Meski pada nyatanya, apa yang disebut anak-anak itu pun bukan anak kandungnya. Toh apalah arti sebuah status anak kandung itu.
Saat membaca, saya jadi teringat ibu yang ada di kampung. Betapa saya juga mencintainya dengan segenap hati. Novel ini menjadikan saya teringat ibu yang telah membuat saya sebesar ini. Kasih sayangnya tak ada batas. Satu memori yang tertimbun alam sadar mencuat ke permukaan ketika membaca Dua Ibu
Saya jadi teringat ketika ibu pernah membonceng dengan sepeda kayuh ketika mengantarkan saya ke terminal setiap Sabtu paginya. Saat itu keluarga kami hanya punya satu sepeda motor, itu pun sudah dipakai bapak ke pasar setiap lepas Subuhnya. Maka tak ada pilihan lain bagi kami untuk menggunakan sepeda mini kuning milik adik. 
Berulang kali saya berkata pada ibu, biar saya saja yang memboncengnya sampai ke terminal. Karena saya sadar bentuk tubuh saya yang lebih besar daripada anak pada umumnya. Tapi ibu bergeming. “nanti kamu kecapekan sampai di sekolah.” 
Kalimat itu sudah terpendam sekitar sembilan tahun lamanya. Lewat Dua Ibu saya kembali mengingatnya. 
Sejahat apa pun manusia, ia selalu punya ibu yang mengasihinya. Maka tak salah jika orang sekelas Lenin pun takluk pada ibunya.
Salam pangabekti buat ibu di Banyuwangi.

Salam,
Fatih.

0 komentar:

Posting Komentar