![]() |
tentu ini bukan uang saya |
Sekarang mari berbicara tentang angka bombastis. Dari katanya saja kita sudah dapat pahami, bahwa bombastis punya daya ledak seperti bom, selaku akar katanya.
Nah, kali ini saya hanya ingin berbagi tentang angka impian saya dalam dua tahun ke depan. Atau tepat di usia dua puluh tiga. Usia emas bagi para pemain bola.
Dalam usia segitu, saya berandai-andai akan punya uang bersih di rekening saya 1000 juta. Sengaja saya tidak menulisnya 1 M, karena saya rasa bilangan itu kurang bombastis. Dengan menambahkan tiga nol, bilangan itu terkesan lebih gagah diucapkan.
Dengan 1000 juta, hal pertama yang saya lakukan adalah mendaftarkan kedua orang tua saya dalam daftar tunggu peserta haji. Impian saya ingin menggenapkan pengalaman spiritual bapak, kemudian menjadikan ibu sebagai perempuan yang lengkap rukun islamnya. Saya sendiri ingin merasakan keintiman komunikasi vertikal itu nanti saja, ketika saya sudah bersama perempuan pemegang tulang rusuk yang belum tahu dimana rimbanya.
Sembari menunggu keberangkatan mereka, saya akan melakukan perjalanan keliling Indonesia. Sendiri. Dari kota paling barat hingga ujung timur republik ini. Itu akan menjadi sebuah pengalaman yang memperkaya wawasan dan keruhanian saya. Dari situ, pasti akan banyak cerita yang bisa saya tulis.
Semua keperluan tentunya sudah terlengkapi di dalam backpack. Ada satu kamera profesional dengan beragam lensa sesuai kebutuhan, macbook, smartphone, dan buku catatan harian. Inilah mimpi saya sebelum melepas masa lajang. Dan akan menjadi pesta bujang paling LAKI yang pernah ada.
1000 juta belum habis.
Rencana selanjutnya saya akan membuka cafe kata. Sebuah kedai kopi dimana saya bisa menghabiskan waktu saya untuk mabuk kopi sembari menulis. Tempat itu bakal saya sulap menjadi surga para pecinta kopi, tempat berkumpulnya para pemikir, dan anak-anak muda yang mencurahkan apresiasinya. Kedai itu tentu bakal saya buka setelah saya merampungkan short course menjadi seorang barista.
Sedekah?
Itu tentunya jadi perisitiwa intim antara saya dengan Sang Maha Sutradara. Jadi, biar saja kita potong dulu bagian ini.
Karena 1000 juta ini memang ada untuk dihabiskan, saya pastikan dulu pendidikan adik-adik saya. Saya tak ingin mereka harus berpeluh dan kelabakan membagi waktu antara kerja dan belajar seperti yang saya alami sekarang ini. Berat untuk menjadi seorang profesional di dua kutub sekaligus. Harus saling rela mengorbankan. Karena kaki kita tak mungkin cukup untuk menjejak di kutub selatan dan utara berbarengan.
Nah, inilah alokasi pamungkasnya.
Saya ingin melamar seorang perempuan. Saya janjikan dua tahun setelah ini, saya akan memasangkan cincin di jari manisnya. Dua puluh tiga, tapi saya masih ingin banyak belajar dan menjelajahi dunia. Jadi, semoga dia berkenan menunggu. Saya berani menjanjikan sebuah pesta di tebing pantai buatnya. Dan selama dua tahun masa pingitan itu, saya akan menyusun sebuah buku sebagai bagian dari mas kawin dan souvenir bagi tamu undangan.
Dan, harapan terakhir, 1000 juta tadi itu terus beranak dalam tabungan. Karena tidak ada yang tidak mungkin di bumi ini. Perempuan tanpa laki-laki saja bisa beranak, apatah lagi 1000 juta yang bukan manusia dan tak berkelamin itu. Di sinilah intervensi semesta yang bakal bicara.
Sekarang, biarkan sejenak saya dimabuk angka bombastis itu.
1000 juta!
Salam,
Fatih.
N.B. Keberanian saya menulis catatan ini bermula dari sebuah obrolan singkat. Suatu siang di kedai kopi, saya semeja bersama broker bank dan agen asuransi. Saya hanya nguping pembicaraan mereka berdua tentang daftar kekayaan orang-orang di kota saya. Ringan saja mulut mereka berucap tentang angka-angka yang jauh lebih bombastis dari yang saya tuliskan. Maka saya pun belajar agar jemari saya lincah menuliskan angka bombastis dalam pikiran saya. Tuhan tidak pernah ngantuk, apalagi tidur, bukan?
0 komentar:
Posting Komentar