Selasa, 17 April 2012 - 0 komentar

Saya Ayah dari Mereka


Sesuatu itu melintas begitu saja. Menerobos dinding batok kepala. Sesuatu yang cukup memaksa kepalaku buat berpikir. Sesuatu itu mungkin bisa absurd. Terserah perspektif apa yang dipakainya. Sesuatu itu, dengan amat payah, saya menyebutnya "pertanggungjawaban moril".

Ops, jangan keburu menuduh saya melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai dan norma mana pun. Tidak. Ini hanya tentang tanggung jawab saya atas apa yang telah saya perbuat. Tentunya, saya bukanlah seorang tukang batu yang bertanggung jawab mendapatkan batu terbaik untuk konstruksi rumah, pun bukan batu-batu akik yang khasiatnya dan keindahannya sama berjalan. Saya hanyalah seorang ayah dari "anak-anak" saya. Coba kembali tinjau, saya menulisnya anak-anak, bukan anak. Dan anda pasti paham, lebih dari satu "anak" yang saya punya.

Anak pertama, anak didik saya. Mereka memanggil saya Bapak. Meski mereka tahu umur saya baru 20 tahun, kungkungan formalitas mengharuskan mereka memanggil saya dengan sedemikian. Pertanggungjawaban pun harus saya berikan kepada mereka; soal materi, gairah serta ketulusan saya sebagai orang yang dipercaya orang tua mereka menularkan gairah belajar bahasa Arab kepada anaknya. Walau, hampir seratus persen saya meyakini, bila anak-anak didik saya yang berusia 6-10 tahun tak pernah mengerti; mengapa mereka harus belajar bahasa Arab, tetapi saya harus tetap lanjut. Ini juga bentuk pertanggungjawaban saya kepada lembaga tempat saya bernaung. Maka, saya hanya menumbuhkan gairah ke-cinta-an anak-anak terhadap bermain dan belajar, menghargai ilmu dan selalu antusias terhadap hal baru. Yang saya tekankan kepada mereka, betapa hidup ini begitu menyenangkan jika kita tahu cara menikmatinya. Semoga, suatu saat kau mengerti, Nak.

Anak kedua, karya-karya saya. Lagi-lagi, saya menuliskannya dengan tanda hubung; tandanya juga sama, lebih dari satu. Mereka juga menuntut pertanggungjawaban yang sama dengan anak pertama. Dan beratnya, pertanggungjawaban ini lebih berbentuk sifat serta sikap saya dalam merawat mereka. Notabenenya, saya yang mengandung mereka dengan segenap gagasan serta saya pula yang melahirkan mereka ke dunia hingga menjadi konsumsi publik. Maka, satu hal yang paling mustahak, apa yang terkandung dari anak kedua saya ini haruslah diimplementasikan dalam hidup saya. Misal, jika anak kedua saya itu bertutur tentang kejujuran, lantas dalam kenyataannya saya lebih banyak berbohong, maka saya bukanlah ayah yang baik buat anak-anak saya itu. Sebuah dosa besar bagi penulis, begitulah pekerjaan saya kedua, jika tak mampu mengamalkan nilai-nilai yang ditulisnya. Inilah tugas yang lebih berat daripada sekadar melahirkan tulisan-tulisan itu sendiri.

Beginilah kisah singkat saya dan anak-anak saya. Yang hingga detik ini, saya masih belajar untuk menjadi ayah terbaik buat kalian, anak-anakku.


Salam,
Fatih.

0 komentar:

Posting Komentar