Malam ini, kau ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa itu.
Peristiwa Tadi Pagi ~ Sapardi Djoko Damono
![]() |
Publikasi pertama; profil Kasatreskrim Tanjungpinang AKP Oxy Yudha P. dok: pribadi |
Senin, 28 Oktober 2013
Pagi, di belahan bumi mana pun selalu sama. Ditandai dengan matahari yang mengintip di tepi ufuk timur. Namun, pagi bisa juga beda. Mana kala ada pemaknaan yang mengawaninya.
Ini bangun tidur pertama sebagai manusia baru. Setelah lebih dari 4 tahun terkungkung oleh pragmatisme hidup. Akhirnya, saya bisa memilih dan menafikan dalih konyol itu; demi sesuap nasi. Memang, semua bermula dari kantung diafragma. Tapi alangkah konyol, bila itu dijadikan alasan utama. Maka, pagi ini, saya bermetamorfosa (meminjam judul cerita Kafka) menjadi wujud baru; pewarta.
Sebelumnya, tidak pernah sebahagia ini saat mengikat tali sepatu. Selangkah di depan rumah, ada debar sibuk di dada, getar-getar tak percaya. Benarkah pukul 08.30 saya sudah harus berada di kantor biro harian terbesar di provinsi ini?
Gugup. Tak mengerti harus memulainya dari mana. Ini seperti bom waktu yang mengejutkan, saya duduk di dalam ruangan ber-AC, dikelilingi 6 unit komputer yang belum lagi menyala. Membuka jendela, saya pikir adalah satu-satunya cara untuk membuang gusar yang membesar. Benarkah dimulai hari ini?
Tak sampai 10 menit, Lara Anita Puji Lestari duduk di bangku, bersehadapan. Saya masih menahan suara, lebih memilih untuk sibuk dengan kepul asap yang saling suling dari lubang hidung ke mulut.
Kami berdua pewarta baru, yang kemarin Sabtu, (26/10), baru resmi untuk memulai petualangan. Tidak banyak kata yang terlontar. Kami basa-basi ala kadar.
Hingga suatu kabar terdengar, Faradilla (yang namanya panjang dan sampai tulisan ini dipublikasikan, saya belum hapal benar ejaan namanya) meminta kami berdua turun. Fara, begitu kami menyapanya, datang mengendarai Inova emas dan mempersilakan kami masuk.
“Disuruh ke Morning Bakery,” tukas Fara yang mengenakan kaca mata hitam berbingkai bulat ala John Lennon.
Fara di kemudi. Lara di sebelah kiri. Saya mematung di belakang sendiri. Perjalanan dari Jalan Pramuka ke Batu Tujuh terasa begitu lama. Barangkali, pikir saya, ini pengaruh debar yang belum hilang secara sempurna. Masih ada geletarnya sesekali.
Sepotong roti abon dan secangkir kopi susu adalah obat mujarab yang mendiamkan dada. Geletar itu perlahan hambar. Saya mulai sadar, tidak perlu memelihara gusar.
Pagi itu, kami dipertemukan dengan Zekma Albert, koordinator liputan kami. Lara terlihat tenang-tenang saja. Sedangkan saya tak berhenti sibuk dengan putung sambung bersambung.
“Apa yang akan kalian liput hari ini?” kalian, jelas berpulang pada saya dan Lara, sebagai anak baru.
Pertanyaan, pada takdirnya, memang berjodoh dengan jawaban. Tapi saya sedang tidak punya jawaban. Diam, pada saat sedemikian, sudah merupakan jawaban.
“Untuk sementara kamu Abang pos-kan di kriminal. Back up si Jay,” tidak perlu disangkal, kalimat ini jelas ditujukan pada saya yang masih belum tahu apa-apa.
Kriminal? Kata ini bahkan belum pernah saya tuliskan di semua karya saya.
“Coba,” kata Bang Zek, kami sepakat memanggilnya Abang, “kamu wawancarai Kasatreskrim yang baru,”
Kasatreskrim? Dua kata asing itu sudah singgah di telinga.
“Tanya padanya, tentang target yang ingin dicapai, strategi yang akan digunakan. Buat semacam profil. Hitung-hitung perkenalan,”
Kriminal dan Kasatreskrim seketika bergaung di kepala saya.
Wartawan baru tidak punya kamus tidak dalam hidupnya. Saya menyanggupi. “Oke, Bang,” kata-kata ini mantap di lidah, lemah di hati.
Setelah mendapat penugasan pertama, Fara kembali mengantar saya dan Lara ke kantor. Kugegas motor. Ke Mapolres? Tidak. Nyaliku belum cukup. Pulang ke kamar adalah satu-satunya yang saya perlukan saat itu. Duduk, menjerang kopi, merokok, dan menenangkan pikiran.
Saya perlu beberapa menit untuk menerjemahkan kriminal dan Kasatreskrim, sehingga benar-benar saya pahami arti dan penggunaannya.
Karena berita tidak mungkin didapatkan dari duduk-duduk saja, maka setelah memastikan daftar pertanyaan, saya melangkahkan kaki ke Mapolres.
Anda tahu, selain rumah sakit, kantor polisi juga merupakan salah satu tempat yang paling saya benci untuk dikunjungi. Bukan karena tidak suka, melainkan saya selalu menghidu aroma arogansi di dalamnya.
Namun, seperti yang sudah saya katakan, tidak ada kata tidak bagi wartawan pemula. Iya, adalah satu-satunya yang dipunya.
Debar itu datang lagi, jelang langkah-langkah menuju ruangan Kasatreskrim. Entah batang tembakau di tangan ini sudah putung keberapa yang saya isap guna menenangkan diri.
Saya mengucap salam dan mengutarakan niatan.
“Oh, Bapak masih sibuk,” terang staf perempuan di meja depan. “Kira-kira jam 2 baru selesai,”
Menunggu. Tidak ada satu pun orang di muka bumi ini yang menyenangi kata kerja ini. Tapi, sebelumnya, Fara pernah berujar, “menunggu itu wajar. Aku saja sampai 3 jam nungguin narasumber,”
Tapi, Fara, ada banyak waktu yang terbuang begitu saja. Sebab itu, saya mengeluarkan buku. Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya tidak akan pernah saya lupakan jasanya dalam hidup saya. Betapa ia telah melipat waktu.
Sudah pukul 2 dan saya dipersilakan menemui Bapak Kasatreskrim, yang ketika bersalaman pun saya masih belum tahu namanya.
Obrolan berlangsung hangat. Sebab, ini juga hari pertama Oxy Yudha Pratesta menjabat sebagai Kasatreskrim.
“Semoga menjadi awal yang baik buat kita,” kata Oxy, setelah mengetahui bahwa ini juga hari pertama saya mewancara.
Saya kembali ke kantor dengan rona bahagia. Satu berita di tangan saya. Menulis berita, memang bukanlah sesuatu yang asing. Karena sebelumnya, saya juga pernah menjabat sebagai pemimpin redaksi di majalah kampus. Hanya saja, masa kuliah dan masa bekerja bukanlah dua sisi koin.
Ada banyak coretan dan koreksi yang Bang Zek ucapkan. Harusnya begini. Mestinya begitu. Saya hanya mangut-mangut.
Pukul 20.30 saya baru pulang ke rumah. Tanpa makan. Tanpa mandi. Saya lekas meraih diari.
Di sudut kiri atas, tempat saya biasa membubuhkan judul, saya menggores kalimat;
Pekerjaan Seksi.
Begitulah saya menamai aktivitas saya sehari-hari. Yang tanpa dinyana dan dirasa telah menginjak satu sasi. Begitu cepat terasa. Hingga, saya teringat satu rumusan hidup (yang saya buat sekenanya);
Ketika jarum jam berputar lebih cepat dari biasanya, pertanda kamu sedang bahagia
Ya. Saya bahagia sejak Hari Sumpah Pemuda ini.
***
Begitulah renik kisah kecil saya menapak bukit terjal bernama jurnalisme. Sebuah mimpi yang saya hidupi sejak kelas 2 SMA. Saat saya mulai menyadari, betapa saya mulai gemar membaca koran dan memindai daftar nama redaksi. Sembari berkhayal; suatu saat nanti, nama saya juga akan terpatri.
Satu bulan sudah. Sekarang Kamis, 28 November 2013.
Setelah merampungkan diari, sebagian kewajiban diri, saya sengaja mengulak-alik helai demi helai, sebatas rentang 30 hari ke belakang. Saya ingin memastikan kembali, bilamana yang saya lakukan saban hari bukan sekadar mimpi.
Ini realita. Saya memastikan ada kartu anggota di dompet saya. Benar. Dia masih berjejer dengan KTP dan ATM.
Sahih yang Andrea Hirata tulis;
Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpimu
Setiap pagi, saya merasa didekap tangan kekasih yang menghangatkan lagi menggelorakan bahwa harus ada satu berita dan cerita yang mesti saya kabarkan.
Duka-nestapa dan suka-bahagia tentu saja ada. Ini hidup yang sebagaimana mestinya. Berpasang-pasang. Berjalin-jalin.
Duka-nestapa itu kala satu hari belum menjumpai cerita yang hendak dituliskan. Padahal, amat sadar, betapa banyak cerita berhamburan saat selangkah di depan rumah. Hanya saja kepekaan mesti diasah. Dan ini adalah proses belajar tanpa henti. Setiap hari, saya terus melatih hidung, telinga, dan mata saya untuk lebih peka. Lebih terbuka melihat realita. Bahwa sebenarnya ada banyak cerita bagi sesiapa yang peka. Maka, peka menjadi kemampuan dasar yang saya asah ketajamannya melalui membaca dan berbicara. Saya mesti lebih berani membuka diri. Menunjukkan pada dunia siapa saya sebenarnya.
Ini, pada masa prajurnalisme, adalah sesuatu yang paling saya hindari. Karena saya kadung cinta dengan sendiri. Namun, karena saya mencintai pekerjaan ini, keikhlasan menelanjangi diri menjadi sesuatu yang harus saya miliki.
Ada pun suka-bahagia adalah ketika saya bisa menulis berita-cerita, dipublikasikan, dan diapresiasi oleh pembaca. Hal semacam ini kian memantapkan saya, menulis adalah jalan yang membedakan saya dengan persona lainnya. Juga memperteguh, dunia tulis-menulis yang saya pilih itu bercahaya.
Setelah meyakini ada dua sisi dari setiap pilihan, saya memutuskan untuk membuka lagi esai wajib yang mesti saya tuliskan kala melamar pekerjaan seksi ini.
Berikut versi lengkap esai yang saya tulis, Kamis (3/10) silam.
MENYIMAK LEBIH BANYAK MENDENGAR LEBIH LEBAR
Ketika dicecar dengan pertanyaan mengapa ingin menjadi wartawan?, ada banyak ragam jawaban yang terlintas di kepala saya. Dari yang paling absurd, hingga yang paling konkret. Bisa bertemu orang-orang hebat dan tenar adalah secuil bagian dari alasan absurd. Sedangkan kategori konkret, semisal mampu melakukan perubahan bagi bangsa ini. Tapi, pada momen lain, atau pada kesempatan berpikir yang lain, saya merasa kedua kategori di atas jadi sulit untuk dibedakan satu sama lain. Bisa jadi, yang semula saya anggap absurd menjadi konkret, dan begitu juga sebaliknya.
Sebab itu, saya menanggalkan dua alasan gelap di atas. Saya pikir, ada alasan yang lebih terang tinimbang jurang pemisah absurd dan konkret.
Menjadi wartawan, sebagaimana yang saya baca, penuh dengan tanggung jawab dan risiko yang sama besarnya. Tanggung jawab itu bisa dalam bentuk menyampaikan informasi yang faktual, tepat, dan berguna bagi masyarakat. Sedangkan risikonya, saya tidak perlu berbicara panjang lebar. Karena risiko sudah ada sejak selangkah kita di depan pintu rumah. Terbersit di pikiran saya untuk menjadi wartawan karena ingin menyimak lebih banyak serta mendengar lebih lebar. Saya pikir, salah satu golongan yang mendapatkan kesempatan itu adalah wartawan. Setiap hari, mereka mesti bertemu dengan macam rupa manusia dan segala kejadian. Ketika manusia bisa menyimak lebih banyak dan mendengar lebih lebar, hadiah pertama yang Tuhan berikan adalah empati. Kemudian nurani kita berbisik untuk berbuat. Karena bekerja sebagai pewarta, maka perbuatannya itu diwujud-nyatakannya dalam bentuk berita. Kolaborasi empati dan perbuatan adalah identitas manusia sebenarnya. Untuk itu, saya selalu berdoa baik untuk para wartawan di seluruh negeri. Tanpa mereka, saya dan masyarakat luas tidak pernah bisa menikmati parodi di televisi tanpa campur tangan Departemen Penerangan.
Saya jadi teringat gumaman Alexander Supertramp pada film Into Wild;
Kebahagiaan sebenarnya adalah kala manusia sanggup berbagi.
Saya hanya ingin jadi lebih bahagia dengan banyak berbagi, karena telah banyak menyimak dan lebar mendengar.
Benar saja.
Kurun sebulan, saya sudah mendengar lebih lebar dan menyimak lebih banyak dari biasanya.
Seperti ketika meliput 7 bayi yang dideportasi. Untuk itu saya bahkan rela begadang di Pelabuhan Sri Bayintan Kijang.
Juga ketika berhasil menembus Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim). Berjumpa dengan teman-teman dari pelbagai negara yang tak bisa hidup bebas dan bahagia di tengah keluarganya.
Untuk dua liputan tersebut, ada trenyuh yang menyebak. Barangkali, ini maksud dari esai yang saya tuliskan. Segalanya jadi lebih lebar dan lebih banyak.
Jauh daripada pencapaian itu semua, saya sadar sebulan adalah awalan. Jangan dulu mengkhayalkan muara, karena belum lagi meninggalkan hulu.
Di depan sana, saya yakin masih ada banyak jalan yang meluberkan berita-cerita. Tugas saya hanya dua; mencatat dan melaporkannya.
Selebihnya, saya ingin tetap berbahagia dengan senantiasa merawat isi kepala saya. Lewat melihat, merasa, mendengar, membaca, menulis, dan membagikannya.
Salam,
Fatih ~ Wartawan pemula.
NB: Catatan ini, sumpah atas nama kasih sayang semesta, telah saya rampungkan Kamis, (28/11) kemarin. Hanya saja, karena padatnya agenda dan jaringan internet yang bermasalah di rumah, baru dapat diposting hari ini.
3 komentar:
Syabas! Hari-hari berikutnya saya akan lebih sering membaca dan menyimak tulisan Anda di Harian BP. Semoga jerang-an kopi Anda menjadi jelaga yang mengisah-kabarkan cerita menarik.
Titanium Chopsticks
This plastic chopsticks titanium men\'s wedding band are also used to make titanium exhaust wrap a small pot. You have a microtouch titanium little plastic chopstick attached to the 2018 ford ecosport titanium handle and that you don't want the ion chrome vs titanium rubber pieces
h688m2wwhry790 cheap sex toys,G-Spot Vibrators,realistic vibrators,black dildos,sex toys,Butterfly Vibrator,sex toys,Bullets And Eggs,dog dildos m082q8ebqgk740
Posting Komentar