Senin, 01 Juli 2013 - 0 komentar

Surat Panjang Kepada Anak yang Belajar Menulis Puisi


Kirana, anak bapak yang paling cantik.

Pertanyaanmu pagi tadi, saat kita menandaskan secangkir kopi, akan kaudapati jawabnya lewat secarik surat tipis ini. Tentang puisi. Sebelumnya, maafkan bapakmu yang melongo dan bisu saat kaulontarkan pertanyaan itu. Karena sesungguhnya, bapakmu ini hanya pacal hina di dunia kata-kata.
Kudengar kauingin menulis puisi kan, Nak? Tulislah. Karena tidak pernah ada yang salah dan berani mendebatnya. Puisi itu bisa mengaji. Menelenjangi kita sebulat-bulatnya. Hinggakan kita jadi tahu hidup ini untuk apa, mengapa, dan bagaimana. Itulah jalan yang ditempuh para nabi, yang suci, yang mewartakan puisi ilahi. 

Bapak akan selalu setuju, bilamana itu benar pilihanmu. Hidupmu bukan hidupku. Menulislah hingga ujung pensilmu patah. Tapi, jangan sekali kaumenangis. Karena bapak akan selalu menyediakan peraut di sudut mejamu. Dukunganku padamu adalah kasih lilin pada api.
Bilamana bapakmu yang beruban ini lupa, maka tolong ingatkan. Bahwasanya bapak punya banyak kerabat hebat. Sesekali, akan bapak minta mereka duduk di depan mejamu, menemanimu. Bapak yakin Paman Paz, Paman Borges, Paman Lorca juga Paman Marquez akan sumringah melihat bocah perempuan berkuncir kuda sepertimu menulis. Kautahu, mereka adalah pawang puisi dari negeri latin.

Namun, bila kau kurang berkenan dengan mereka. Usah kau bermasam muka. Bapak bisa mengundang minum teh juru puisi dari Jepang. Paman Kawabata akan mengajarimu menulis negeri salju.
Kalau tidak salah, kau juga ingin menulis puisi liris, bukan? Pekan depan biar Kakek Tagore yang datang. 
Menulis dan teruslah menulis, anakku. Sekiranya kau merasa lelah, teman-teman bapak dari Eropa akan menyemangatimu. Kautahu, Om Hemingway, Om Nabokov, Om Pasternak, Om Flaubert, Om Chekov, hingga Kakek Tolstoy dan Kakek Sartre pun rela merautkan pensilmu. 

Kirana, puisi adalah mata pisau. Semakin kauasah, semakin mudah kaumembelah. Jangan kau hanya menulis puisi saat tahu Arjuna, kekasihmu itu, tak datang di malam minggu atau saat hujan datang lebih pagi. Kau mesti menulis karena memang ada sesuatu yang hendak kaukatakan. Karena menulis puisi memang tak semudah melipat perahu kertas. 
Setelah itu, biarlah puisi itu melarung nasibnya sendiri. Terombang-ambing di samudra batas cakrawala. Puisimu juga berhak menentukan jalan hidup serta jodoh yang tepat baginya. 

Tapi, seriuskah kau ingin menulis puisi?
Asal kau tahu, di kampung kita ini sudah banyak yang melakukannya. Ada kalanya mereka hanya menuang sampah di atas kertas dan mengaku itu puisi. Tulislah puisimu sekilau berlian, karena berlian tetap indah dipandang dari sudut mana pun.

Baik-baik. Kudengar kau memang serius menulis puisi. Pesan bapak, kau harus ikat rambutmu lebih tinggi. Karena kau akan berkelahi dengan Chairil, Rendra, Mangunwijaya, Emha, Taufiq, juga Sapardi. Kau juga akan berseteru dengan Raja Ali Haji, Sutardji, Tusiran, Machzumi, Yoan, Febriyadi dan Barozi. Siapkah kau, anakku?

Jangan pernah takut puisimu dicaci, dikritisi, bahkan dimaki. Itu konsekuensi. Jadilah setegar karang, yang senantiasa merindukan ombak datang menerjang.

Tapi, Kirana, bila suatu nanti kau ingin mentas, tangan bapakmu selalu terulur di tepi kolam. Bapak akan menghandukimu, mengeringkanmu, dan menyelimutimu. Lalu, kita kembali duduk semeja. Kita akan menulis cerita tentang ladang dan sawah di hadapan dua gunung yang mengapit matahari. Selanjutnya kita menulis cerpen. Kau tahu kan?

Ya. Cerita pendek. Tentang cinta yang singkat dan hidup yang pendek. 
Apa pun jalanmu, tetaplah menulis Kirana.

Tanjungpinang, 15 Juni 2021
Fatih Muftih, 
Bapakmu yang cerpenis.

0 komentar:

Posting Komentar