![]() |
selesai baca Nov 2012 |
Entah setan alas mana yang merasuki saya untuk mulai telaten menulis setiap kesan setelah membaca satu buku. Kalau boleh berhitung, sebenarnya sudah hampir ratusan judul buku yang telah saya baca. Tentunya, jika dihitung pengalaman baca saya sejak kelas tiga SD. Maka, di bulan ini saya mulai melayani "permintaan" setan alas, yang buat saya tak ada salahnya untuk ditelateni.
Buku ini milik Yoan Sutrisna Nugraha, seorang teman yang keranjingan membeli buku. Dan saya adalah orang yang paling bahagia dengan polahnya itu. Karena tinggal sekamar, otomatis bukunya juga menjadi "bukuku", dalam artian hak bacanya. Buku The Man Who Loved Books Too Much ini ia beli di Bandung sekitar setahun silam.
Singkatnya, buku ini bercerita tentang seorang bibliodick, John Gilkey, yang mencintai buku melebihi apa pun. Bahkan ia rela kebebasannya digadaikan demi mendapatkan segala buku klasik, bersejarah, dan bernilai. Namun, sayangnya, Gilkey serupa saya, penggila buku dengan dompet tipis. Maka ia menghalalkan segala cara untuk mendapatkan buku-buku impiannya. Termasuk mencurinya dari agen-agen.
Dari buku terbitan Alvabet ini, saya memahami satu hal berharga, bahwasanya mencintai buku itu lebih dari sekadar membaca. Karena kecintaan itu juga akan menempatkan kita sebagai penyelamat peradaban. Andaikan buku-buku klasik yang bernilai tinggi itu tidak dirawat dengan baik, maka satu buku rusak sama saja dengan merusakkan sebuah sumber peradaban. Maka tak heran jika saya amat benci dengan orang-orang yang menekuk kertas isi buku saya sebagai pembatas bacanya. Ini menjengkelkan dan, bagi saya, penyakit.
Setelah membaca kisah setebal 266 halaman ini, saya semakin sadar juga bahwasanya tidak ada yang keliru dengan mencintai buku too much. Memang belum sampai ke taraf kegilaan yang Gilkey punya, tapi kecintaan saya kepada buku kian hari kian menjadi.
Hanya satu perbedaan saya dengan Gilkey. Jika ia hanya membaca dan mengoleksi buku, dengan harapan namanya tercatat sejarah sebagai kolektor terlengkap, saya tidak sekadar membaca saja. Tapi saya juga menulis, saya pun ingin mencatatkan nama saya dalam sejarah. Sebagai pembaca yang kutuan dan penulis yang akrobatik.
Saya acap terkekeh selama membaca buku ini.
Salam,
Fatih.
0 komentar:
Posting Komentar