Sabtu, 07 Januari 2012 - 0 komentar

Mengenang Tahun yang Berulang

Jarum pendek sudah ereksi tepat di hadapan angka sembilan, sedangkan pacar dia yang jangkung dan panjang menengang di tepiang angka dua belas. Tepat dua puluh tahun yang lalu, seorang ibu muda berusia 24 tahun mengejang - menahan sakit luar biasa di antara selangkangannya. Sedangkan darahnya sudah bergelinang merah segar di ranjangnya.
Maka keluarlah si jabang bayi yang telah bersemayam di rahimnya selama sembilan purnama. dengan berat tiga koma tiga kilo, sang jabang bayi menyapa dunia dengan tangis pertamanya.
Melalui kesepakatan suaminya, Ibu muda itu menamai si jabang bayi - anak pertamanya - dengan Fatih Muftih, atau Sang Pembuka jika di-Indonesiakan.
Anaknya itu kini sudah tumbuh menjadi remaja beranjak dewasa, dan sedang berlayar dalam bahtera pencarian jati diri, hingga sampailah ia ke sebuah negeri yang bahkan orang tuanya sendiri tak pernah mengunjungin negeri tersebut. Di negeri itu, si jabang bayi tiga koma tiga kilo, merenda hidupnya. Ia mulai berani menanak mimpi dan lahan perlahan berusaha mewujudkannya.
Hingga sampailah di detik ini; tiga tahun pelayarannya di Negeri Pantun. Kalau ingin diceritakan apa yang sudah didapatnya, mungkin laman blog ini tak akan pernah cukup buat menceritakannya. Cukup ia dan hatinya saja yang menyimpan rapat-rapat perasaan itu.
Di tengah deraan pekerjaan yang menyita hidupnya, si jabang bayi tiga koma tiga kilo itu ingin sedikit berkisah tentang tujuh Januari-nya yang selalu dinantinya selama 365 hari lebih itu.

Perayaan ke-18; 7 Januari 2010
Saat itu, tidak ada harapan lebih. Pagi, usai mandi, ia hanya mengenakan kemeja merah marunnya, ditambah dasi hitam favoritnya. Lantas berjalan ke kelas dengan biasa. (Pada usia segitu, si jabang bayi tiga koma tiga kilo itu sudah menjadi guru Bahasa Inggris kelas dua SMP di Ponpes Al-Kautsar Tanjungpinang). Agak malas sebenarnya ia untuk mengajar hari itu, rencananya ingin sekali kabur, entah ke mana dan tidur sepanjang hari di hari ulang tahunnya. Tapi, anak-anak kelas 2 SMP itu berbeda dengan kelas lainnya, anak-anak di kelas itu, unik dan rada gila, jadi punya ruang sendiri di hatinya. Maka, dengan lunglai plus gontai, ia langkahkan kakinya di tengah renyai hujan di ulang tahunnya.
Di kelas, hanya biasa; masuk, mengucapkan salam keras-keras, memulai pelajaran, memberikan vocabularies, dan memberikan soal. Eh, di tengah pelajaran, si Eza (murid cewek yang duduk di belakang) tiba-tiba datang membawa surprise cake yang ditengahnya berdiri lilin merah menyala. 18, begitu bentuk angkanya.
Seperti ada yang menyumpal tenggorokannya, si jabang bayi tiga koma tiga kilo itu speechless, tanpa suara sedesibel pun. Bagaimana tidak, seumur hidupnya, dari tangis pertama di 1992 sampai detik itu, ia tidak pernah berpikir punya kue tar, dengan lilin merah berangkakan usia baru, seperti yang dilihatnya di tivi. Tahun-tahun sebelumnya, ia hanya menghabiskan malam dengan makan-makan bersama teman-teman di malam pergantian usianya.
Saking kagetnya akan keberadaan tar itu, ia tak bisa ngomong sepatah kata pun. Hanya mengucapkan terima kasih yang besar bangeeet buat anak-anak kelas 2 SMP yang sekarang entah udah pada kemana aja mereka semua.
Mereka semua udah menggoreskan sisa kebahagiaan yang luar biasa di hati si jabang bayi itu. Tentang kebahagiaan merayakan usia baru, tentang kejutan dari murid-murid yang tidak pernah diharapkan, dan juga tentang kue tar dengan angka delapan belasnya, yang akan diingatnya sampai mati.
"Terima kasih, Excellent Class, I miss and love you as always."

Perayaan ke-19; 7 Januari 2011
Kali ini, si jabang bayi tiga koma tiga kilo menginjakkan usianya ke angka sembilan belas tahun. Pada perayaan kali ini, ia baru saja memutus-kasih dan merajut-kisah baru. Baru sehari ia mendapatkan pekerjaan baru. Artinya, ia baru saja melepas pekerjaan lama di Pon-Pes Al-Kautsar. Dan kini, sehari sudah ia bekerja di sebuah sekolah dasar ternama di Tanjungpinang. Artinya, dia tidak lagi tinggal di pesantren dengan santri-santrinya yang gemesin. Kini, ia tinggal pure sebagai anak kos, yang kalau untuk makan harus cari dulu, itu pun ada atau tidaknya belum pasti. Tapi, itulah pilihan yang telah ia buat untuk masa depannya.
Usai Maghrib, di Jalan Sumatra Nomor 7, ia dan Komunitas Sastrawan Muda Tanjungpinang, sebuah komunitas penulisan sastra yang memompa semangatnya berkarya, itu berkumpul. Baru saja mereka memperoleh wejangan dari penyair nasional, Asrizal Nur. Nah, usai sholat maghrib di masjid, ia kembali ke venue. Eh, sang penyair nasional itu sudah pulang. Namun, karena ada kamera, mereka sempatkan bernarsis-narsis ria.
Jepreeet... Ada yang basah di kepala. Goddamn... telur baru saja dipecahkan di kepalanya.
Sekali lagi, waktu memberikannya kejutan dengan pecahnya butir demi butir telur di atas kepalanya.




Perayaan ke-20; 7 Januari 2012
Ini yang paling unik dan aneh buatnya. Apanya yang nggak. Saat ini, usia akan menginjak kepala dua. Tentunya ini menjadi transisi yang unik. Dari belasan menjadi puluhan. Dari kepala 1 menjadi kepala 2. Unik bukan? Namun, ia tak banyak mengharap di dua puluh tahunnya ini. why? Menurutnya, kini ia bukan lagi anak belasan tahun, yang ulang tahunnya wajib dirayakan. Dia kan udah tua? Begitu pikirnya.
Tapi, Tuhan ternyata punya rencana lain buatnya. Dalam daripada itu, ia memutuskan untuk tidur siang - panjang, berharap tanggal ini akan lekas berlalu. Ia tak ingin makin menyimpan luka-kecewa dari sisi lain ulang tahun. Maka, ia benamkan dalam-dalam kepalanya menuju pendakian alam mimpi.
Karena bising yang tak tertahankan ia terbangun.
"Kurang ajar. Apa nggak ada tempat lain buat kalian berisik." Rutuknya.
Namun ternyata, kebisingan itu berasal dari suara-suara sahabat baiknya. Yoan-Ica membangunkannya sambil menyanyikan happy birthday... Dan digeletakkannya di samping si jabang bayi itu, Ica, datang membawa hot dog dengan lilin merah berangkakan 20 menyala di atasnya. Sedangkan Yoan dengan kue cokelat. Hhm, kejutan yang benar-benar awalnya dihindari. Tapi, kalau sudah begini, ia harus meniup lilin-lilin itu dan ini, secara tidak langsung, meresmikan usianya yang kedua puluh.
Malamnya, ia sudah berpikir tidak akan ada lagi kejutan, karena semuanya telah usai. Apalagi orang seperti dia, yang sedikit temannya, yang tidak pandai bergaul, maka dirasanya kejutan Yoan-Ica itu adalah kejutan pertama sekaligus kejutan terakhir.
Sekali lagi, Tuhan punya cara tersendiri dengan kejutan-kejutan di tiap detiknya.
Dwi Rahmaisyah dan Tiara Maulida - anak-anak Pelantar Kusam - datang ke rumah. Tidak ada yang mencurigakan. Karena sedari awal kami sudah berencana untuk pergi bersama ke Pulau Penyengat, untuk nonton Opera Mak Jogi bersama Husnizar Hood. Akan tetapi, mereka berdua datang ke rumah tidak dengan tangan kosong.
Mereka datang sambil membawa sekotak kecil brownies cokelat yang sangat berbeda. Di atasnya, terdapat Shaun The Sheep, yang membuat cake ini menjadi sulit dimakan. Apatah tidak, unik dan lucu banget. Sayaaaannggg banget mau makan.
Hhmm... terima kasih, Dwi dan Tiara. You're all the best... :)
Di Pulau Penyengat, rintik-rintik hujan sempat turun dari langit. Namun, tidak menghalangi kemeriahan untuk menyaksikan Opera Mak Jogi. Sungguh memuaskan bisa nonton Opera yang ciamik, ditambah dengan menyeberang Tanjungpinang-Penyengat, untuk kali pertama, di malam hari. Angin-angin laut berembus dingin, sambil mengalirkan beberapa ide-ide yang siap ditumpahkan.
Tapi, di Dermaga Pulau Penyengat, semua ide yang sudah terjaring terlepas seketika.
Adalah kejutan selanjutnya yang melepaskan ide-ide tersebut.
Terigu dan telur datang silih berganti, hinggap di kepala. Bisa kaubayangkan bagaimana rasanya itu? Serasa menjadi gorengan yang tinggal menunggu minyak panas saja. Bertubi-tubi terigu dan telur bersarang di hampir seluruh badan. Dan ini, jelas, kepala puaknya, tak lain dan tak bukan adalah Yoan.
Anehnya, kenapa tiba-tiba mendadak kehilangan konsentrasi untuk menghindar. Dan akhirnya hanya sanggup bersikap pasrah; menjadi obyek bulan-bulanan di tengah gelapnya dermaga ke Penyengat.
Hampir semua orang aneh memandangi sosok pria tambun, dengan kepala seluruh badan berlumur terigu dan telur. Mungkin mereka berpikir, ini adalah sosok gorengan yang lari dari minyak panas. Ah, terserang orang deh mau ngomong apa. Show must go on.
Demi menantang mental, Yoan menawarkan untuk makan malam di Potong Lembu. Pantang dicabar. Maka tawaran itu disanggupi. Maka jadilah, hampir seluruh orang yang sedang makan saling mengalihkan pandangan pada pria yang baru datang lengkap dengan bau adonan - paduan telur dan terigu. Mereka terkekeh melihat pandangan yang absurd sekaligus aneh itu. Ah, tapi usah diambil pusing. Ini pula kan setahun sekali. Maka tak mengapalah dijabani.
Selesai sudah perayaan peralihan usia dari belasan menjadi puluhan. Sekadar info, di kampung, ibunya mengadakan syukuran kecil-kecilan bersama anak TPA di masjid. Thanks, Mom. Kata ibunya, doa anak kecil itu lebih mudah diijabahi dari orang dewasa yang sudah kebanyakan dosa.
Jika ditanya betapa bahagianya, maka jelas itu tak terejawantahkan dengan kata. Karena ada keyakinan yang timbul di hati. Jika perawalan usia tersebut begitu berkesan sekaligus menyenangkan, maka alamatlah sepanjang usia baru itu, kebahagiaan pun turut mengiringi. Pada 2010, juara I provinsi berhasil disabet. 2011, juara nasional malah berhasil diraih. Maka, 2012, yang diawali dengan perayaan yang sensaional ini, diyakini juga akan membawanya pada perubahan kearah yang lebih baik.
Jika ditanya, adakah yang masih ditunggu?
Maka, jawabnya adalah masih. Hanya suara berdurasi tiga detik untuk mengucapkan hepi bertdei (sengaja ditulis dengan ejaan yang salah, agar mudah diucapkan dan tidak membuang waktu) dari seorang wanita yang telah menginspirasi hampir keselurahan karya si bayi tiga koma tiga kilo itu. Namun, hingga tulisan ini dimuat, suara itu belum terdengar di telinganya. Apakah terlalu sulit hanya untuk menyisihkan 3 dari 86400 detik yang dipunyai wanita itu pada 7 Januari ini?
Hem... entahlah.
"Happy Birthday, My Self. Let's be better than yesterday."

Salam,
Fatih.

0 komentar:

Posting Komentar